News

UU Sisnas Iptek Lindungi Keanekaragaman Hayati Indonesia

Dikutip dari tekno.tempo.co, Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristek/BRIN Ocky Karna Radjasa mengungkapkan bahwa Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi atau UU Sisnas Iptek mampu memberikan perlindungan bagi sumber daya hayati Indonesia.

“Sekaligus dapat menjatuhi sanksi kepada yang bersangkutan sesuai dengan sanksi yang tertera di undang-undang tersebut,” ungkap Ocky di acara seminar nasional bertajuk Pencegahan Pencurian Sumber Daya Hayati (Biopiracy) di Hotel Sheraton Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Senin 28 Oktober 2019.

Dalam seminar itu, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) mensosialisasikan UU Sisnas Iptek.

Sebelumnya, Plt Sekretaris Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi Agung Kuswandono mengungkapkan bahwa Indonesia masih suka kecolongan dalam hal melindungi kekayaan sumber daya hayatinya.

“Indonesia sudah banyak kecolongan. Yang paling banyak itu pencurian yang mengatasnamakan penelitian. Misalnya ada peneliti asing harusnya meneliti satu sumber daya hayati saja, tapi malah meneliti semuanya,” kata Agung pada kesempatan yang sama.

Oleh karena itu, menurut Ocky, UU Sisnas Iptek ini dapat meminimalisir serta melindungi kekayaan hayati Indonesia dari pihak-pihak asing yang ingin merugikan Indonesia.

“Dalam UU ini disebutkan bahwa lembaga iptek asing yang melakukan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (Litbangjirap) di Indonesia wajib memiliki izin, wajib menyerahkan data primer kegiatan Litbangjirap, serta memberikan keuntungan secara proporsional sesuai dengan kesepakatan para pihak yang berkepentingan,” ungkap Ocky.

Sementara itu, kata Ocky, bila pihak asing melanggar kewajibannya, maka pihak tersebut akan dijatuhi sanksi, mulai sanksi administratif hingga pencabutan izin penelitian.

“Sesuai dengan Pasal 76 UU Sisnas Iptek, orang yang melanggar kewajiban akan dijatuhi sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian pembinaan, denda administratif hingga Rp 4 miliar, pencatuman pelanggar ke dalam daftar hitam, hingga pencabutan izin penelitian,” ujar Ocky. Ia menegaskan bahwa sanksi tersebut akan diberikan secara bertahap.

Ocky menuturkan bahwa banyak peneliti asing yang ingin melakukan litbangjirap di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki keanekaraaman hayati yang banyak. Agung menuturkan bahwa Indonesia setidaknya memiliki 47 ekosistem hayati berbeda sehingga menghasilkan endemisme hayati yang tertinggi di dunia.

“Makanya tak heran, bila di tahun 2019, kemenristek menerima permohonan izin litbangjirap dari pihak asing mencapai 750 permohonan. Namun, tahun ini kami hanya mengeluarkan izin kepada 530 pihak saja,” ungkap Ocky. “Namun, tren permohonan izin dari 2010 hingga 2019 mengalami kenaikan,” lanjutnya.

Ocky berharap dengan adanya UU Sisnas Iptek ini mencegah peneliti asing melakukan biopiracy yang merugikan Indonesia.

Join The Discussion