JAKARTA – Temuan Puslitbang Pembangunan dan Keuda Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri menyatakan pembiayaan Pilkada serentak patut dievaluasi. Hal itu dipertegas oleh pernyataan Bahtiar Direktur Politik Kemendagri dalam acara diskusi publik model pembiayaan pilkada serentak yang efektif dan efisien, yang dilaksanakan di Hotel Mercure, Jakarta, Selasa (7/11).
“Temuan awal BPP ini akan memperkuat justifikasi kita ke depan. Menuju Pemilu 2024, harus ada peraturan yang negintegrasikan antara Pilkada dan Pemilu secara nasional. Untuk itu, penelitian ini harus dibicarakan lebih lanjut dan dimasukan dalam regulasi pemilu yang akan datang,” Ucapnya.
Bahtiar juga mengusulkan agar pendanaan Pilkada sebaiknya ditanggung oleh APBN. Pasalnya jika Pilkada masih didanaI dari APBD, maka bisa dipastikan banyak pembangunan daerah terhambat gara-gara dananya harus ditarik untuk Pilkada.
“Kasihan juga Pemerintah, karena Pilkada serentak, banyak proyek di Kaltim tidak dibayar, Bupati mengeluh karena ada proyek yang sudah lelang karena ada Pilkada harus dialihkan, karena tiba-tiba ada slot anggaran yang begitu besar tidak direncanakan secara baik oleh Pemda maupun pemerintah pusat. Untuk itu Kemendagri akan melakukan penataan. Pada masa yang akan datang akan kita kodifikasikan kepemiluan antara nasional dan lokal terintegrasi dalam satu kitab UU,” tuturnya.
Terkait dengan mahalnya anggaran Pilkada tersebut, Pramono Ubaid Tanthowi Komisioner KPU mengatakan tidak efisiennya anggaran Pilkada disebabkan oleh beberapa faktor seperti Pilkada hanya didesain untuk menyerentakkan daerah-daerah yang waktunya berdekatan, kemudian porsi anggaran Pilkada 40-50 persen untuk honor penyelenggara seperti PPK, PPS, KPPS, sementara selebihnya dipergunakan untuk operasional, bimtek, tahapan, sosialisasi, kampanye, logistik, dll.
“Kemudian kenapa mahal? Karena KPU saat ini harus menyusun anggaran dengan asumsi 5-6 Paslon. Sementara Pilkada 2015 dan 2017 cenderung hanya diikuti 2-4 Paslon. Selain itu sebagian biaya kampanye Paslon ditanggung KPU seperti alat peraga kampanye, bahan kampanye, debat kandidat di TV, iklan media cetak dan elektronik,” tuturnya.
Di sisi lain, Shadiq Pasadigoe Staf Ahli Menteri PAN dan RB mengatakan, tidak efektifnya pembiayaan Pilkada disebabkan oleh regulasi yang tidak konsisten dan selalu berubah-ubah dalam jangka waktu yang sebentar. Alasan lainnya adalah tidak adanya pengawasan terhadap KPU, serta tidak adanya hasil audit dari hasil pelaksanaan pemilu.
“Tidak ada audit dari pemilu ke pemilu. Yang semestinya audit tidak hanya dilakukan dalam hal keuangan saja, namun juga perlu dalam hal kinerjanya apakah program yag dilakukan KPU ada kaitannya?” terangnya.
Shadiq juga menyarankan dalam rangka meningkatkan partisipasi pemilih, sebaiknya peyuluhan oleh KPU dilakukan di tingkat terendah seperti kecamatan, dari pada membuat program studi banding yang selama ini tidak terlalu bermanfaat. (MSR)