News

Udara Jakarta Buruk Berisiko bagi Atlet Asian Games

JAKARTA – Kualitas udara Jakarta buruk. Dalam kurun 2012-2017, kualitas udara Jakarta termasuk kategori baik hanya 26-76 hari dalam setahun. Melihat kondisi ini, sejumlah masyarakat sipil Jakarta tergabung dalam Warga Negara Menggugat, melayangkan somasi terkait pengendalian pencemaran udara di ibukota.

Kualitas udara Jakarta yang buruk khawatir berdampak pada ajang olahraga Asian Games yang akan digelar 18 Agustus-2 September 2018 di Jakarta dan Palembang. Tak hanya risiko penyakit pencemaran udara, para atlet juga terancam tak bisa memecahkan rekor yang telah persiapkan di negara masing-masing.

“Para atlet memerlukan 10-20 kali lipat volume udara untuk bernafas saat berlatih atau bertanding,” kata Ahmad Safrudin Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), setelah menyerahkan surat somasi di Balaikota Jakarta, dua pekan lalu.

Seminggu pertama Mei ini, pemantau kualitas udara Kedutaan Amerika Serikat mencatat kualitas udara Kota Jakarta terburuk di antara kota besar lain di dunia.

Kala merujuk lima Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) pemerintah, untuk mencapai rekor, atlet memerlukan kualitas udara dengan kategori baik, bukan sedang, tidak sehat, sangat tidak sehat apalagi berbahaya.

Sebagai gambaran, dalam kurun 2012-2017, kualitas udara Jakarta termasuk kategori baik hanya 26-76 hari dalam setahun.

Dari pemantauan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berbagai kota terpapar polutan udara dengan tingkat bervariasi antara kategori ‘sedang’ hingga ‘berbahaya’.

Untuk PM2.5 rata-rata tahunan melampaui standar WHO sebesar 12 mikrogram per meter kubik. Pekanbaru, Palembang Palangkaraya, Jakarta dan Bandung dengan posisi tertinggi.

ISPU PM2.5 Jakarta tinggi sepanjang tahun bahkan sebagian termasuk kategori berbahaya. Pun PM10 di Jakarta juga tinggi sepanjang tahun dengan kategori berbahaya.

Somasi warga

Karena udara buruk inilah, sejumlah masyarakat Jakarta tergabung dalam Warga Negara Menggugat, melayangkan somasi terkait pengendalian pencemaran udara di ibukota. Dalam surat somasi dan klarifikasi yang disampaikan pada 17 Mei 2018, perwakilan masyarakat minta pemerintah, terutama Pemprov Jakarta menjalankan pengelolaan kualitas udara di Jakarta secara ketat.

“Somasi ini tidak hanya untuk Gubernur Jakarta,” kata Puput, sapaan akrabnya.

Selain Pemprov Jakarta, kata Puput sapaan akrabnya, somasi ini juga ditujukan kepada Presiden, Menko Bidang Ekonomi, Menko Maritim, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Perindustrian, Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kapolri, Menteri Keuangan, Direktur Utama PT. Pertamina, PGN dan BPH Migas.

Data hasil pemantauan kualitas udara di berbagai kota kurun 2012-2016 yang dikeluarkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan KLHK menunjukkan, ada risiko dari tingginya paparan berbagai parameter berupa partikel udara berukuran lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), partikel udara berukuran lebih kecil dari 2.5 mikrometer (PM2.5), oksida sulfur (SO2), oksidan (O3), kabon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NOx) dan timbel (Pb) di berbagai kota termasuk Jakarta.

Meski CO2 masih jauh di bawah ambang batas, katanya, bukan berarti aman bagi warga kota karena ini hasil pengukuran udara ambient.

Sedang manusia berada di permukaan tanah lebih terpapar pencemaran udara road site (pinggir jalan) dengan paparan emisi knalpot kendaraan lebih tinggi dari paparan udara ambient.

Berbeda dengan Pekanbaru dan Palangkaraya, pencemaran udara didominasi sumber dari dampak pembakaran lahan dan hutan. Di Jakarta, jelas didominasi sumber kepadatan lalu lintas dan industri. Palembang, polusi udara berasal dari ketiganya, transportasi, kebakaran hutan dan industri.

Apa akibatnya bagi warga Jakarta? Puput menjelaskan, konsekuensi logis dari kualitas udara buruk terhadap warga yang menderita sakit seperti infeksi saluran penapasan akut (ISPA), iritasi mata, iritasi kulit, batuk. Pun juga sakit kronis seperti jantung koroner, risiko cacat fisik, cacat mental, down syndrome, tremor hingga kematian.

“Jadi sangat mendesak menerapkan pengelolaan kualitas udara di Jakarta secara ketat dan konsisten. Baik di sektor transportasi, industri, domestik, pengendalian debu jalanan, pengolahan sampah dan proses konstruksi,” katanya. (IFR/Mongabay)

Join The Discussion