SALATIGA, KOMPAS — Tradisi berpikir kritis dalam pembelajaran pendidikan tinggi di Indonesia masih lemah. Padahal, menghadapi ketatnya persaingan di tingkat global, mahasiswa dituntut aktif turut serta menjadi konstruktor pengetahuan. Dari berpikir kritis juga bakal lahir beragam inovasi.
Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Neil Samuel Rupidara, di sela-sela jumpa pers di Kampus UKSW, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Rabu (25/4/2018), mengatakan, tradisi belajar mengajar secara umum masih menempatkan dosen sebagai sentral. Artinya, dosen sebagai ahli yang harus memberi tahu orang lain.
Menurut Neil, pola seperti itu membuat mahasiswa sebagai penerima pasif dari ilmu pengetahuan yang disiapkan dosen. “Karena itu, harus ada mindset yang diubah, yang mendorong mahasiswa untuk aktif bertanya, mencari, dan merekonstruksi ilmu pengetahuan tersebut,” kata dia.
Neil menambahkan, apabila rasa ingin tahu sudah didorong sejak awal masuk kuliah, daya eskplorasi mahasiswa diharapkan terus tumbuh. Nantinya, saat sudah di tingkat atas dapat menerapkannya secara ilmiah. Artinya, dapat mengambil sikap kritis terhadap ilmu pengetahuan yang didapatnya.
Dalam upaya mengembangkan tradisi berpikir kritis tersebut, UKSW membentuk Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis. “Universitas memandang, tradisi berpikir kritis ini sangat penting dan harus dikembangkan. Berpikir kritis ini dilakukan dalam rangka perbaikan mutu secara menyeluruh,” ucap Neil.
Setahun ke depan, kata Neil, disiapkan kurikulum baru di UKSW yang menjadikan critical thinking sebagai salah satu mata kuliah fondasi bagi semua program studi. Untuk tahap awal, fasilitator dari setiap fakultas akan dilatih untuk menerapkan pola itu, untuk kemudian membangkitkan kemampuan kritis mahasiswa.
Era disrupsi
Menurut Neil, pengembangan tradisi berpikir kritis juga upaya UKSW dalam menghadapi tantangan di era disrupsi teknologi serta ketatnya persaingan di tingkat global. Terlebih, pada April 2018, UKSW mendapat akreditas A untuk Akreditasi Perguruan Tinggi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT)
Ketua Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis (PPPK) UKSW, Danny Zacharias menuturkan, tradisi berpikir kritis diperlukan di perguruan tinggi agar mahasiswa aktif bertanya akan apa yang mereka dapat. Selain itu, berpikir kritis juga penting untuk menghindari prasangka serta pemikiran-pemikiran buruk, terutama egosentrisme.
Dalam penerapannya, lanjut Danny, dosen dan mahasiswa sama-sama merumuskan apa yang dihasilkan dari pertemuan. “Kelas harus menjadi pusat pembelajaran. Dengan collaborative learning, harus sama-sama diberi waktu, karena untuk mencapai satu elemen atau tujuan, tak bisa dalam waktu singkat,” ucapnya.
Sementara itu, salah satu anggota tim perumus PPPK UKSW, Marthen Luther Ndoen, mengemukakan, berpikir kritis berkaitan erat dengan inovasi. Selain itu, untuk meningkatkan daya saing bangsa, pemikiran kritis menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Karena itu, perubahan pola pikir pembelajaran ini penting diterapkan.
“Selama ini, dari SD hingga universitas, polanya menghapal sesuai dengan buku. Padahal, dengan berpikir kritis kita dituntut untuk berpikir di luar kotak sehingga menghasilkan inovasi. Jika tak berpikir seperti itu, tak akan ada inovasi. Karena itu, kami ingin mengubah pola agar mahasiswa memilki kemampuan menganalisis,” ujar Marthen.