JAKARTA – Menjadi pengelola jurnal tidak lah mudah, banyak kendala yang biasanya dialami. Salah satunya adalah krisis naskah, akibatnya artikel penelitian yang tidak berkualitas pun menjadi salah satu pilihan terakhir yang masuk dalam jurnal suatu lembaga.
Obing Katubi, peneliti dari LIPI mencoba memberikan saran dan masukan kepada para pengelola jurnal dalam Rapat Koordinasi Pengelola Jurnal Ilmiah yang diikuti lebih dari 50 peserta dari seluruh Indonesia pada Rabu (28/3). Ia menjelaskan bahwa menjadi peneliti yang berkualitas pertama adalah mengikuti karakteristik suatu jurnal. “Kalau jurnalnya bertema politik, ya menulis tentang politik jangan menulis tentang ekonomi,” jelasnya.
Lalu untuk menulis jurnal berkualitas, peneliti harus menulis artikel dengan tema yang jangan terlalu luas. Fokuskan permasalahan yang akan diulas. “Biasanya artikel ditolak karena menyatakan pentingnya penilaian yang dianggap sepit tersebut, tidak memberikan contoh yang memadai, tidak memperkirakan tingkat pengetahuan audiens secara tepat,dan tidak mengaitkan panjang artikel dengan topik. Jangan memanjangkan artikel dari pembahasan tema yang sempit,” jelasnya.
Selanjutnya ia menjelaskan, kebanyakan artikel ditulis tidak berdasarkan kebaruan yang ada. Banyak peneliti yang terjebak dengan penelitian terdahulu sehingga tidak menemukan yang berbeda dan menghasilkan buah pikirannya sendiri. “Supaya orisinalitas dan terbaru, bacalah perkembangan materi dalam bidang Anda, fokuslah pada hal baru. Seburuk-buruknya artikel, adalah artikel yang hasil menulisnya sudah pernah ada. Artikulasikan dan orisinalitas harus dikemukaan. Tunjukan hal yang baru tentang bukti Anda. Berikan penjelasan apa yang beda dari penelitian terdahulu. Review analisis Anda. Jangan berhenti pada temuan,” imbuhnya.
Terakhir, Obing menyarankan agar para peneliti lebih hati-hati dalam menulis. Kebanyakan penulis tidak membaca ulang tulisannya, sehingg banyak tata Bahasa yang kurang huruf, tidak tepat atau biasa dibilang jorok. “Bayar saja editor untuk mengeditnya, sah koq bapak/ibu,” tutupnya. (IFR)