JAKARTA, KOMPAS.com – Tiga mahasiswi Universitas Gadjah Mada ( UGM), Yogyakarta, meneliti lendir lele untuk mengobati pasien dengan keluhan mulut kering.
Ketiga mahasiswi tersebut adalah Zipora Silka Yoretina (Fakultas Kedokteran Gigi), Deaoxi Renaschantika Djatumurti (Fakultas Kedokteran Hewan), dan Roissatun Nasikah (Fakultas Farmasi).
Proses penelitian lendir lele ini di bawah bimbingan dosen Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) bagian Ilmu Penyakit Mulut UGM, drg. Hendri Susanto, M.Kes., Ph.D.
Penelitian yang dilakukan ketiga mahasiswi ini bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Ekstakta (PKM-PE) oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti).
Ide penelitian Salah satu mahasiswi yang meneliti, Deaoxi mengatakan, kasus mulut kering sering dijumpai pada pasien dengan penyakit kronis dan pemakai obat-obatan atau pasien yang sedang menjalani terapi, seperti penderita kanker kepala dan leher.
Perawatan mulut kering akibat radioterapi dan atau kemoterapi akan menimbulkan penurunan produksi air liur (saliva) di dalam rongga mulut.
“Karena saliva berperan penting dalam membasahi mukosa mulut, membantu dalam pengunyahan, serta memudahkan penelanan makanan. Maka, jika produksi salivanya berkurang, pasien biasanya akan mengalami nyeri telan (susah untuk menelan makanan) dan sensasi mulut yang terbakar,” kata Deaoxi, kepada Kompas.com, Selasa (24/07/2018).
Kekurangan air liur juga dapat meningkatkan kemungkinan untuk terinfeksi jamur.
“Kami coba untuk mencari bahan organik apa yang dapat digunakan untuk jadi saliva buatan. Dan dari beberapa penelitian, sudah dikonfirmasi bahwa lendir lele memiliki antimikroba yang dapat melawan bakteri dan jamur,” ujar dia.
Alasan meneliti lendir lele karena memiliki viskositas atau kekentalan yang lebih besar dari air, sehingga dianggap mampu untuk menjadi bahan dalam pembuatan saliva buatan.
Spesies lele yang digunakan dalam penelitian ini adalah lele lokal (Clarius batrachus) yang didapatkan dari pemancing di Desa Beji, Kulon Progo, Yogyakarta.
Ekstrak lendir lele kemudian dicampur dengan bahan pendukung lain dan diuji kemampuannya dalam meniru saliva alami dengan pengukuran derajat keasaman, sudut kontak, dan daya hambat pertumbuhan jamur candida albicans.
“Hasil pengujian menunjukkan bahwa saliva buatan lendir lele ini mampu menghambat pertumbuhan jamur candida albicans lebih baik daripada Nystatin, obat yang sering digunakan dalam kasus Kandidiasis oral ,” kata Deaoxi.
Pada uji tegangan permukaan, tampak hasil yang menunjukkan bahwa nilai sudut kontak saliva buatan lendir lele dengan glass slide mendekati sudut kontak saliva alami manusia yang diuji dengan cara serupa.
Sementara, untuk hasil pengujian derajat keasaman, didapatkan nilai pH yang mendekati pH saliva buatan yang sudah dijual secara komersil di luar negeri.
Saat ini, penelitian masih dalam tahap pre-klinis secara in vitro. Ke depannya, diharapkan akan ada tahapan lanjutan penelitian ini.