KOMPAS.com – Belakangan banyak muncul penelitian terkait risiko kesehatan terhadap olahraga. Salah satunya adalah risiko gegar otak seperti yang banyak dialami para atlet.
Sebuah penelitian yang dipimpin oleh Profesor Jacob Resch dari Curry School of Education, Universitas Virginia, mencoba memberi penjelasan yang tidak bias dan menyeluruh terkait dengan perbedaan risiko gegar otak pada atlet pria dan wanita.
Resch dan rekannya menganalisis hampir 160 penelitian terkait gegar otak pada atlet wanita dan pria. Sebagian besar penelitian meneliti telah atlet basket, hoki, dan sepak bola.
Pengamatannya meliputi tiga tahap gegar otak, yakni sebelum cedera (predisposisi), pada saat cedera, dan pemulihan.
Dari data yang didapat menunjukkan bahwa atlet wanita memiliki frekuensi yang lebih tinggi mengalami gegar otak dibanding atlet pria.
Alasannya masih belum jelas. Peneliti menduga ada kaitannya dengan perbedaan biologis seperti fluktuasi hormon, kekuatan leher, atau kombinasi dari beberapa faktor yang terlibat.
Meski demikian Resch berkata butuh riset mendalam lagi terkait gegar otak saat olahraga dan yang terpenting adalah perawatan kesehatan yang profesional.
“Baik pria maupun wanita akan membawa faktor predisposisi atau gejala terhadap cedera tersebut. Kita masih perlu banyak mempelajari gegar otak, termasuk bagaimana gender berperan menyebabkan cedera. Pada akhirnya gegar otak harus ditangani,” kata Resch dilansir dari Medical Xpress, Rabu (7/2/2018).
Sementara itu, Susan Saliba yang seorang profesor kinesiologi Curry School berkata bahwa ada banyak faktor yang dapat memengaruhi seorang atlet mengalami gegar otak dan seberapa cepat pemulihannya. Di antaranya seperti usia, akses terhadap perawatan kesehatan, pengobatan, dan kecemasan.
Walau begitu, Saliba berkata kurangnya alat untuk mendiagnosis atlet yang mengalami gegar otak juga menjadi kendala.
“Jika kita memiliki semua alat yang dibutuhkan, kita lebih mudah untuk mengidentifikasi gejala gegar otak dan seberapa besar tingkat keparahannya itu,” kata Saliba yang juga seorang terapis fisik berpengalaman dan pelatih atletik yang juga belajar gegar otak.
Kini satu-satunya cara untuk mengenali gejalanya adalah dengan terus mempelajari gegar otak. Sehingga dapat membantu dokter, atlet dan keluarga untuk memahami penyakit dan harapan akibat cedera.
Jika pria dan wanita mengalami gegar otak yang berbeda, Resch berkata maka dokter harus dapat mengukur gejala dan melakukan tindakan pemulihan yang akurat.
Dari data yang ditemukan, atlet wanita bisa tiga kali lebih sering mengalami gegar otak dibanding pria.
Temuan ini setidaknya dapat mendorong peneliti lain untuk membuat penelitian yang dapat mengidentifikasi faktor risiko gegar otak untuk mengurangi risiko yang ada atau penelitian yang bertujuan untuk pengobatan gegar otak.
“Misalnya, jika atlit wanita memiliki gejala yang berbeda tergantung pada fase siklus menstruasi mereka, itu mungkin memiliki beberapa implikasi pengobatan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi pemulihan, dan pengelolaan klinis harus dilakukan secara individual,” imbuh Donna Broshek, seorang neuropsikologis klinis dan profesor ilmu psikiatri dan neurobehavioral di Sekolah Pengobatan UVA yang terlibat dalam penelitian.
Para atlet juga dianjurkan untuk berkonsultasi pada petugas kesehatan atau pelatih atletik bersertifikat.