News

Syarat Publikasi Karya Ilmiah Profesor Direvisi

JAKARTA – Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) merevisi peraturan tentang syarat publikasi internasional profesor, yakni Permenristekdikti Nomor 20/2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor.

Selain tidak diwajibkan masuk Scopus, profesor diperbolehkan menjadi penulis pendukung saja agar produktif dibidang publikasi internasional. Syarat publikasi direvisi karena Kemenristekdikti melihat bahwa masih banyak profesor yang tidak mengerti komponen pembuatan publikasi internasional yang diwajibkan bagi profesor.

Meski akan direvisi, sosialisasi Permenristekdikti No 20/2017 tetap akan dijalankan. “Permenristekdikti Nomor 20/2017 akan kami per bai ki dalam masa ini karena banyak komponen yang mereka tidak paham,” kata Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir di Jakarta kemarin.

Nasir mengungkapkan, penyebab profesor kesulitan membuat publikasi karena kurang memperhatikan kewajiban mereka untuk menciptakan publikasi internasional. Selain itu, mereka tidak memahami media apa yang bisa digunakan agar namanya tercetak dalam publikasi internasional. Guru besar mempunyai mahasiswa yang diberikan tugas skripsi, tesis, atau disertasi.

Karena guru besar bisa menjadi penulis pendukung, maka mereka bisa menjadi penulis pendukung dalam tugas mahasiswa itu sehingga namanya bisa dipublikasikan dalam satu jurnal internasional. “Sejak awal sudah dikasi tahu yang penting guru besar untuk memaintance untuk memublikasikan apakah sebagai penulis utama atau bisa sebagai penulis pendukung,” katanya.

Profesor pun tidak diwajibkan memuat publikasi di Scopus, yakni pusat data terbesar di dunia yang mencakup puluhan juta literatur ilmiah. Menurut Nasir, asalkan bisa terbit di jurnal bereputasi, karya ilmiahnya bisa dihitung sebagai produktivitas profesor.

Nasir mencontohkan tulisannya bisa dikirim ke Thomson Reuters atau Emerald. Di sisi lain, masalah bahasa juga menjadi salah satu kelemahan profesor. Menristekdikti mengakui, dari 5.366 profesor ada 3.800 yang publikasinya belum memenuhi syarat. Pemerintah memang akan belum memberlakukan sanksi, namun tahun ini masih dalam tahap evaluasi.

Anggota Komisi X DPR Arzetti Bilbina menyatakan, DPR telah membahas Permenristekdikti tersebut pada Februari 2017, dan meminta pemerintah mengkaji lebih jauh permen ini serta menerima masukan dari berbagai pihak.

Dia menyampaikan, di satu sisi Indonesia sebagai negara besar tentu malu jika saat ini jumlah publikasi internasional di negara masih berada jauh di bawah publikasi negara-negara maju, bahkan berada di bawah Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Di sisi yang lain, banyak dosen kita yang tidak sepakat dengan permenristekdikti ini karena biaya yang dikeluarkan lebih mahal membuat karya ilmiah dibanding tunjangan yang diperoleh. “Mereka menuturkan bahwa untuk publikasi biayanya sekitar Rp15 jutaan, belum biaya penelitian itu sen diri yang bisa sampai ratusan juta,” ungkapnya.(sindonews.com)

Join The Discussion