Proyek pembangunan infrastruktur yang dibiayai Cina di Asia dan Afrika diklaim berhasil mengurangi kesenjangan antar wilayah dan mempercepat pemerataan kemakmuran. Namun pinjaman Cina juga dicurigai sebagai “jerat utang”
Gelombang pembangunan infrastruktur yang dibiayai Cina di Asia dan Afrika diklaim berhasil mengurangi kesenjangan antara wilayah yang berpotensi konflik. Kesimpulan tersebut didapat melalui studi yang dipublikasikan organisasi multinasional, AidData dan College of William & Mary di Virginia, Amerika Serikat.
Program “Sabuk Ekonomi Jalur Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21” milik Cina yang mengalirkan dana investasi untuk pembangunan infrastruktur di negara-negara berkembang selama ini ditengarai sebagai cara Beijing memperluas pengaruh dan menempatkan pemerintahan di sejumlah negara dalam jerat utang.
Namun studi yang menganalisa 3.485 proyek di 138 negara di Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Timur Tengah antara 2000-2014 membuktikan insiatif tersebut memiliki dampak positif. Investasi Cina mengarah pada pemerataan ekonomi dengan menambah akses pasar dan lapangan pekerjaan. Hal ini, menurut para peneliti, “mengurangi risiko kerusuhan berdarah.”
“Pengamat dan politisi sering mengklaim Beijing sebagai aktor yang keji dan jahat,” kata Direktur Eksekutif AidData, Bradley C. Parks. Tapi dengan mendorong pemerataan ekonomi, “Investasi Beijing turut mengentaskan salah satu akar masalah ketidakstabilan di seluruh dunia dan mempermudah negara barat untuk menanggulangi ancaman dan krisis global.”
Meski demikian sejumlah negara menunda berbagai proyek milik Cina menyusul minimnya keterlibatan perusahaan lokal. Kebanyakan proyek dibangun oleh kontraktor Cina dan dibiayai oleh bank Cina.
Di Kenya Presiden Uhuru Kenyatta mendulang protes dan aksi mogok massal setelah memberlakukan pajak bahan bakar sebesar 16% untuk membayar utang pembangunan infrastruktur. Kenya “secara perlahan tenggelam ke dalam jebakan diplomasi utang milik Cina,” tulis jurnalis lokal Jaindi Kisero di harian Daily Nation.
Tidak hanya di Afrika, Beijing juga mendapat perlawanan dari Malaysia ketika Perdana Menteri Mahathir Mohammad menunda sejumlah proyek milik Cina, antara lain pembangunan rel kereta senilai 20 miliar Dolar AS. Kuala Lumpur mengklaim pihaknya tidak mampu membiayai proyek tersebut.
Pemerintah Cina sendiri menepis tudingan bahwa inistaif jalur sutra abad ke21 menjadi jerat utang di berbagai negara. “Kemakmuran rakyat dan pertumbuhan ekonomi banyak membaik,” kata seorang pejabat di kabinet, Ning Jizhe, dalam sebuah jumpa pers, sembari menambahkan Cina “tidak menciptakan jerat utang.”
Dalam 15 tahun sejak 2014, Cina mengucurkan dana pinjaman senilai 354,4 miliar Dolar AS ke Afrika, Asia dan sejumlah kawasan lain. Jumlah tersebut mencapai 90% dari total dana pinjaman yang dikucurkan Amerika Serikat pada rentang waktu yang sama, klaim AidData. Tapi jika dana bantuan AS mencapai 93% dari jumlah tersebut, hanya 23% dana yang dikucurkan Cina dikategorikan sebagai bantuan. (dw.com)