News

Snapcart: Metode Baru Disrupsi Industri Riset Pasar

Wartaekonomi- Jakarta – Snapcart, perusahaan rintisan bidang teknologi digital, memanfaatkan teknologi untuk membuat perusahaan riset pasar. Dengan kecanggihan teknologi digital, perusahaan ini menghadirkan data riset secara cepat dan real time kepada klien yang datang dari sejumlah perusahaan multinasional.

Dorongan pemerintah kepada sejumlah perusahaan startup di Indonesia untuk menjadi The Next Unicorn tidak membuat Snapcart bernafsu meraih status Unicorn. Perusahaan dengan model bisnis penyedia data riset pasar dengan klien perusahaan atau model kerja sama business to business (B2B) ini memiliki target sendiri yang dianggap lebih besar. Target itu adalah mendominasi dunia market riset dan menjadi perusahaan analitik yang bisa memberikan data secara real time untuk pembelian secara luring (offline).

“Apakah ketika menuju ke sana kami menjadi Unicorn, ya alhamdulillah, tapi jadi Unicorn itu bukan visi kami,” ungkap Reynazran Royono, Founder dan CEO Snapcart. Ia begitu antusias saat menceritakan upaya ekspansinya ke sejumlah negara. Perusahaan yang dirintis di Indonesia pada September 2015 ini telah hadir di tiga negara lain, yakni Filipina (Agustus 2016), Brasil (Oktober 2017), dan yang terbaru di Singapura (Februari 2018).

Rey menegaskan, Snapcart memiliki visi untuk menjadi perusahaan global karena industrinya memang digerakkan oleh industri yang bermain secara global pula. Klien yang dilayani adalah perusahaan-perusahaan multinasional, seperti Nestle, Unilever, Loreal, dan P&G.

Ekspansi ke luar negeri, seperti Brasil, itu dilakukan karena ada permintaan dari klien. Jadi, ekspansi yang dilakukan Snapcart bukan berdasarkan area, tetapi mengikuti permintaan dari klien. Secara populasi, Brasil juga besar yang mencapai 200 juta jiwa, struktur trade-nya juga mirip dengan Indonesia. Secara benua, Amerika Latin mirip dengan Asia Tenggara yang kebanyakan negaranya sedang berkembang. Itulah mengapa banyak klien yang meminta Snapcart ekspansi ke Brasil.

Pemain perusahaan riset pasar, boleh dibilang hanya segelintir, sekitar 4 perusahaan. Semuanya adalah pemain global, seperti Nielsen, Kantar Worldpanel, Ipsos, dan GfK. Perusahaan tersebut telah puluhan tahun eksis. Untuk bersaing dengan perusahaan yang sudah berpengalaman dengan data itu tidak gampang. Namun, dengan metode baru yang dimiliki Snapcart, justru ingin mencoba mendisrupsi industri riset pasar.

Secara prinsip, data yang dihasilkan oleh Snapcart dengan perusahaan riset konvensional itu mirip. Namun, apa yang diekstrak dan metodologi yang digunakan sangat berbeda. Perusahaan riset konvensional menggunakan pen and paper yang kolot dan memakan waktu. Sementara, Snapcart menggunakan metode otomatis sehingga sangat cepat dan dapat menghasilkan data yang real time. Perusahaan membutuhkan data secara real time agar bisa melakukan intervensi terhadap bisnis pada saat penjualan menurun, atau menggenjot bisnis semakin kencang ketika sedang tumbuh dengan baik.

“Saya merasakan sendiri sebab saya pernah bekerja di perusahaan consumer good. Jadi, saya juga menggunakan data dari perusahaan riset pasar yang tradisional,” ungkap Rey

Menjaga Kualitas Data

Metode riset otomatis yang dilakukan oleh Snapcart memiliki beberapa tantangan dalam mendapatkan data. Pertama, bagaimana Snapcart mengenai dan mampu mengekstrak setiap setruk belanja (nota) yang masuk. Saat ini, Snapcart telah mampu mengenali lebih dari 6.000 retailer, seperti yang dikeluarkan oleh Hypermart, Carrefour, Indomaret, Alfamart, hingga minimarket yang ada di daerah-daerah.

Tantangan kedua, bagaimana caranya pengguna mau mengunggah atau men-scan setruk belanjanya melalui aplikasi Snapcart. Cara yang dilakukan adalah dengan memberikan cashback bagi pembelanja yang melakukannya. Besaran cashback yang diberikan tergantung dengan nilai belanja dan berapa lama pembelanja itu tergabung di Snapcart.

Benefit cashback ini ternyata juga memberikan tantangan lain. Banyak orang yang memanfaatkan untuk berburu cashback dengan mengunggah setruk belanja yang bukan miliknya. Untuk mengatasi fraud ini, Snapcart hanya menerima setruk yang masih baru, tidak lebih dari tiga hari pasca tanggal transaksi. Lalu, ada pembatasan unggah dalam satu hari.

“Kami memberikan additional incentive ke orang-orang yang berbelanja, tetapi kalau ada orang melihat Snapcart sebagai penghasil uang utama, jangan pakai Snapcart,” ujar Rey.

Rey tentu tidak ingin jika semua orang menggunakan Snapcart dan mengunggah setruk belanja karena secara bisnis model itu tidak semakin menguntungkan Snapcart sebagai perusahaan riset. Saat ini, aplikasi Snapcart telah diunduh lebih dari 1 juta kali dengan pengguna aktif sekitar 50 ribu pengguna. Jumlah itu sudah lebih besar dari responden yang dimiliki oleh perusahaan riset konvensional lainnya.

Secara validitas data sudah lebih bagus karena semakin banyak akan semakin representatif dengan confidence rate mendekati 95%. Namun, pertanyannya sekarang adalah kalau jumlah penggunanya diperbesar menjadi 5 juta pengguna, apakah data akan semakin akurat? Mungkin keakuratannya akan naik 1%, tetapi biaya atau cashback yang diberikan kepada pengguna akan semakin besar pula.

Ketika semakin banyak orang yang menggunakan aplikasi Snapcart, bukan tidak mungkin kelak akan ada beberapa restriksi (pembatasan) sebelum memperbolehkan user menggunakannya. Snapcart akan memilih pengguna mana yang cocok dan menjaga mereka yang memberikan data dengan benar. Dari 4 negara yang telah jadi pasar Snapcart saat ini, tiga di antaranya (Indonesia, Filipina, dan Brasil) saat ini penggunanya telah mencapai 50—60 ribu. Sementara, Singapura belum mencapai angka tersebut karena masih baru.

Meraba Pasar Online

Setelah hadir di empat negara, Snapcart mencoba untuk menggarap pasar online. Menurut Rey, upaya itu lebih mudah ketimbang mulai dari pasar online baru kemudian pindah ke offline. Pasalnya, pasar online sudah terfragmen dan setruk lebih gampang dibaca. Di bisnis online, kemungkinan pemainnya akan berbeda, seperti lebih banyak ke produk elektronik. Namun, hingga saat ini belum terekstraksi secara lebih jelas. Penyebabnya, selama riset market offline, yang terekstraksi benar-benar hanya data kebutuhan sehari-hari.

Rey menuturkan, ada perubahan behavior orang Indonesia dari supermarket atau hypermarket ke minimarket. Dibanding negara di Asia Tenggara lainnya, seperti Filipina dan Thailand, masyarakat masih dominan berbelanja ke supermarket atau hypermarket. Di dua negara tersebut, minimarket atau convenience store biasanya hanya menjual minuman dan snack.

Tapi kalau di Indonesia beli apapun sama seperti berbelanja di supermarket atau hypermarket. Malahan, sering ditemukan harga produk di minimarket lebih murah dibanding di hypermarket. Perubahan behavior itu terjadi karena adanya pendefinisian yang terjadi bertahun-tahun. Masyarakat sudah melihat minimarket sebagai sumber utama belanja. Akhirnya, belanja tidak dilakukan bulanan, tetapi mingguan.

Join The Discussion