News

Sinyal dan Geografis Kendala Kepengurusan Dokumen Kependudukan

Faktor geografis dan jaringan operator atau sinyal naik turun masih menjadi kendala dalam kepengurusan dokumen kependudukan dan catatan sipil. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terus berupaya memudahkan pelayanan Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) bagi warga masyarakat Indonesia.

Saifullah Ma’shum, Ketua III Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) menuturkan, pihaknya ingin lebih memantapkan IKI membantu negara dalam meningkatkan pelayanan kependudukan. Sebab, melalui relawan masih ditemukan pelayanan kependudukan yang terkendala.

Dari pengalaman soal regulasi, sambungnya, sudah memadai. Namun implementasi di lapangan masih bias di kelurahan atau di desa. “Sehingga pada penelitian ini kita ingin temukan faktanya seperti apa. Hasilnya kita ingin jika kebijakan di pusat, ada perbaikan di pusat dan pemda serta aparat dukcapilnya,” tandasnya dalam seminar hasil penelitian IKI dan Litbang Media Nasional dengan tema “Mengenali Wajah Pelayanan Disdukcapil di Daerah”, di Jakarta, Selasa (28/8/2018).

Memang selama ini, sambung dia, sosialisasi yang dilakukan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) masih kurang dan masih ada kesan seperti salah satunya mengurus akta Kelahiran itu sulit dan mahal. “Oleh karena itu ini persoalan kurangnya keterbukaan informasi dan ini tugasnya petugas Dukcapil,” tandas dia.

Jadi harus ada produk seperti poster, leaflet dan lainnya yang mengena, tepat sasaran. Kemudian, lanjutnya, persoalan lainnya adalah faktor geografis juga belum tercover oleh pusat dan jangkauan intenet belum terkoneksi sehingga menjadi problem.

“Jadi mustahil jika semua menggunakan jasa pelayanan yang sama pada era teknologi dan melayani ratusan juta penduduk Indonesia dalam waktu yang bersamaan,” ungkapnya.

Selain itu, banyak juga Disdukcapil yang kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) Unit Pelayanan Terpadu (UPT) di tingkat Kecamatan/Kelurahan serta minimnya pendanaan.

Harapan IKI ada beberapa rekomendasi jadi berupa sinkronisasi kebijakan dan regulasi pusat yang tidak sinkron dengan perda. Ada juga standarisasi yang kurang seperti tidak perlunya materai dan juga soal denda yang memberatkan penduduk. Kemudian masih banyaknya calo sehingga performa petugas harus lebih ditingkatkan dan pelayanan harus maksimal. Kemudian masyarakat selaku pemohon diberi kemudahan dalam mengurus dokumen sehingga orang tidak tergoda menitip calo.

Kenapa perlu adanya penelitian pelayanan kependudukan catatan sipil tersebut?. Saifullah Ma’shum menambahkan, oleh negara di tingkat daerah hak mereka masih sering didiskriminasi dan dipimpong sana sini.

Disdukcapil kecil APBD-nya, jika Bupatinya tidak komitmen dan cukup pengetahuan kemudian tidak ada perubahan mindset pelayanan publik.

Intinya leadership menjadi penting disaat orang memperjuangkan Hak Sipilnya. Sistem antrian panjang masih ada terjadi, untuk ambil antrian mereka harus datang dari jam 01.00 WIB.

“Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) peduli pada pelayanan kependudukan dan catatan sipil di beberapa daerah. Sehingga dilakukan penelitian. Kenapa?, sebab IKI berdiri di tahun 2006 memperhatikan kewarganegaraan dan kependudukan. Masih ada saja diskriminasi dalam membuat dokumen kependudukan,” ungkap Prasetyadji selaku Peneliti Utama IKI.

Pada kegiatan yang menyoroti “Layanan Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil” tersebut, Prasetyadji menambahkan, kita sudah keliling ke 20 provinsi, Jawa – Sulawesi – Papua. Di lapangan masih ada kita temukan permasalahan kependudukan itu. Seperti halnya, “Masalah Kewarganegaraan ditemukan dalam mengurus pada persyaratan surat bukti Kewarganegaraan RI bagi etnis Tionghoa,” ungkapnya.

“Ada sekitar 5 persen etnis Tionghio mengalami diskriminasi dokumen kependudukan,” ujarnya.

Menurutnya, ini merupakan perlakuan diskriminasi, IKi juga menemukan pelayanan kependudukan yang belum sesuai masyarakat. Oleh karena itu IKI berdiri untuk mengawal 2 UU yaitu UU Kewarganegaraan no 12 tahun 2006 mengenai Kewarganegaraan RI dan UU no 23 tahun 2006 jo no 24 tahun 2013 mengenai Administrasi Kependudukan. Harapan ke depan masalah kewarganegaraan ini bisa tuntas dan tidak ada diskriminasi lagi. Pelayanannya harus menyentuh sampai bawah.

Kristina Lili, Kasubdit Pemanfaatan Data, Ditjen Dukcapil menjelaskan, bicara penduduk ada sekitar 263 juta jiwa. Sebanyak 263 juta itu penduduk yang terdata yang memiliki NIK. Ini adalah tugas kita sama-sama, ada beberapa hal yang dicermati, masih banyak loh yang belum terdata yang belum memiliki No Induk Kependudukan (NIK).

Permendagri No. 9 tentang peningkatan pelayanan. Jangan sampai ada yang bilang lagi kabupaten kota yang blankonya habis.

Dari data yang dihimpun jumlah anak Indonesia usia 0 -18 tahun, 79,38 juta jiwa. Di 2014, cakupan kepemilikan Akta Kelahiran 35 persen. Cakupan kepemilikan Akta Kelahiran di 2019 ada 68.409.869 jiwa (85.20 persen).

Nurul F. Litbang Media Nasional, menjelaskan, pada April lalu dengan latar belakang fakta, target No Induk Kependudukan (NIK). Salah satu yang menjadi indikasi dalam persoalan kependudukan adalah Akta Kelahiran dan tidak mudah membuatnya.

“Kita memotret perilaku pelayanan kependudukan di beberapa daerah. Kita melakukan interview di enam tempat salah satunya di Tangerang. Disdukcapil tidak melakukan sosialisasi pengurusan kependudukan kepada masyarakat,” kata Nurul. Sebab, tambahnya, masih ada kurang akuratnya perbedaan data pada dokumen kependudukan di Kabupaten Serang, Bogor dan Tangerang.

Dari tiga kabupaten sampel yang diambil maka dalam kepengurusan Akta Kelahiran ada yang sampai 9 bulan. “Mereka yang sudah bayar tapi tidak jadi-jadi dokumennya. Jika lihat aturannya ternyata mudah sehingga ada kesenjangan informasi di situ,” sebutnya. Dalam kegiatan tersebut, juga turut hadir, Komisioner Ombudsman, Ahmad Suhaedi. (IFR/Indopos.com)

Join The Discussion