JAKARTA, KOMPAS.com – Jasa konsultan politik di Indonesia merupakan peluang bisnis tersendiri, mengingat negara ini menerapkan sistem demokrasi yang secara tidak langsung mendorong kebutuhan sejumlah pihak akan jasa tersebut.
Meski begitu, bisnis ini juga memiliki tantangan tersendiri sehingga diperlukan strategi untuk menjaga keberlangsungannya di masa mendatang.
Kompas.com berkesempatan berbincang dengan salah satu pelaku bisnis jasa konsultan politik, Yunarto Wijaya yang sekaligus merupakan Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia pada Senin (12/2/2018). Perbincangan itu dirangkum ke dalam format tanya jawab sebagai berikut:
Bagaimana awal mula bisnis ini berkembang di Indonesia?
Awalnya, belum banyak lembaga riset politik. Charta Politika sendiri baru masuk ke wilayah itu baru 2005 karena saat itu baru Pilpres tahun 2004 dan setahun setelahnya Pilkada secara langsung, dari yang tadinya melalui DPRD.
Awalnya kami fokus ke data, survei, dan FGD (focus group discussion). Tapi, kebutuhannya ternyata bukan cuma itu. Mereka butuh output yang bisa berpengaruh langsung terhadap pemenangan mereka. Bagaimana elite politik kita mulai melek dengan hal yang sifatnya modern, terkait dengan riset. Tadinya, masih didasarkan pada gaya-gaya politik tradisional, siapa yang menguasai jaringan dan tokoh, sampai hal yang sifatnya spiritual.
Ketika bisnis jasa konsultan politik mulai diminati, apa saja layanan yang ditawarkan?
Apa yang jadi jasa kami, saya istilahkan sebagai 3M. Pertama mapping, berupa riset tentang perilaku pemilih dan bagaimana pemetaan di antara mereka dengan kompetitornya. Kedua, monitoring atau pendampingan.
Kami memberikan strategi dan mendampingi mereka, apakah langkah-langkah yang dilakukan dalam kampanye sudah benar atau tidak, sampai membantu membangun sebuah aplikasi dan indikator kerja. Ketiga, mobilizing atau jasa pemenangan. Untuk yang ini, bagaimana konsultan bergerak bukan cuma di level otak, tetapi langkah pemenangan yang paling utama. Misalnya, door to door campaign, training terhadap tim di lapangan, sampai pelatihan saksi sehingga memastikan suara yang dibutuhkan dalam Pilkada bisa menang.
Berapa tarif untuk layanan-layanan tersebut?
Saya enggak bisa sebut secara gamblang, tapi untuk survei kan jelas. Survei untuk kabupaten/kota, 400 responden antara Rp 120-150 juta sekali survei. Bisa dilakukan paket, ada diskon. (Survei) Pilkada provinsi, bisa Rp 225-350 juta, tergantung daerahnya. Kalau daerah yang sulit, apalagi Papua, itu harganya bisa dua kali lipat.
Tergantung jumlah responden dan kondisi daerah. Kalau jasa pemenangan, pendampingan, biasanya (dihitung) per bulan. Bagaimana eksklusivitas kami mendampingi calon akan dihargai per bulan. Lagi-lagi, tergantung seberapa sulit pertarungan dilakukan, itu dilihat dari survei. Semakin rendah hasil survei (elektabilitas), semakin mahal pendampingan.
Semakin tinggi hasil survei, semakin murah jasa pendampingan karena sebenarnya tugas konsultan tidak berat. Jasa pemenangan juga akan bergantung pada kondisi tadi, semakin kondisi di lapangan sulit karena hasil survei rendah, harganya akan semakin mahal.
Komponen apa yang membuat jasa konsultan politik jadi mahal?
Secara bisnis mana yang lebih mahal, ya di mobilizing. Level eksekusinya. Mahal itu juga kalau pendampingan sampai level saksi, tim pemenangan, mendampingi tim partai itu cenderung mahal karena betul-betul pasukan yang dibutuhkan akan banyak sekali.
Apakah tarif jasa layanan konsultan politik bisa mencapai puluhan miliar rupiah?
Kalau orang mengatakan bisa sampai puluhan miliar rupiah, menurut saya ada yang salah dengan pemahaman mengenai konsultan politik. Biasanya, berarti konsultan politik ikut memegang, membagi, dan memproduksi atribut, spanduk, dan kaos. Fungsi konsultan kan bukan percetakan, tapi jasa otak, jasa ilmiah. Harusnya, tidak mencapai angka-angka menyeramkan seperti gosip-gosip tadi.
Kalau konsultan memposisikan diri secara benar dan tidak menggantikan peran pihak-pihak lain, harusnya bisa membuat kampanye lebih efektif dan efisien sehingga harganya lebih murah. Kalau ada jasa konsultan dan biayanya jadi lebih mahal, itu menurut saya salah kaprah dan di situ peran konsultan jadi gagal.
Bagaimana prospek dan tantangan bisnis ini ke depan?
Ke depan jauh lebih susah, apalagi Pilkada serentak tidak membuat pekerjaan kami lebih mudah karena resources-nya sama, tapi harus melakukan pekerjaan pada waktu yang bersamaan.
Sebelum Pilkada serentak, lebih mudah kami lakukan pemetaan dan diversifikasi resources sehingga proyek yang kami pegang bisa lebih banyak, ketimbang yang serentak dalam satu hari. Buat konsultan, Pilkada serentak tidak menguntungkan. Sekarang juga lebih berat, karena pemainnya sudah jauh lebih banyak. Di daerah-daerah sudah muncul konsultan politik, sehingga kami harus bersaing.
Lembaga survei di daerah bisa menjual harga lebih murah, karena mereka ada di tempat tersebut. Bedanya, lembaga nasional kan kredibilitas dan nama besar yang dijual. Supaya bisa bertahan, dibutuhkan kode etik. Jangan sampai ada langkah-langkah yang saling mematikan antarlembaga konsultan, yang karena kepentingan bisnis kemudian bermain kotor, memainkan harga semau-maunya.
Tapi, akan terjadi filter dengan sendirinya, lembaga konsultan yang sudah punya nama, terbukti bisa berguna dan membuat kampanye lebih efektif efisien dan sebagainya itu akan membuat lembaga yang tidak bisa melakukan itu akan tergerus dengan sendirinya.
Apa harapan Anda untuk jasa konsultan politik dan pelaku bisnisnya di Indonesia?
Saya berharap lembaga konsultan, walaupun orientasinya bisnis, tapi tetap menjaga nilai-nilai absolut yang harus kami tolak. Misalnya, black campaign, kampanye SARA. Ada juga komitmen menolak tersangka walau dimungkinkan untuk jadi calon, harus kami tolak. Termasuk pola-pola pembayaran yang kami anggap tidak sah dan jasa proyek, timbal balik segala macam, saya sangat berharap integritas lembaga konsultan bisa terjaga di situ.