News

Scopus Menjadi Momok Bagi Akademisi Indonesia

JAKARTA – Deddy Mulyana Guru Besar Fikom Universitas Padjadjaran pesimistis terkait kebijakan Kementerian Ristek dan Dikti terkait kewajiban seorang uru besar harus menghasilkan tiga karya ilmiah di jurnal internasional atau satu karya ilmiah di jurnal bereputasi dalam kurun tiga tahun (2015-2017. Jika ketentuan itu tak dipenuhi, tunjangan kehormatan guru besar akan dihentikan.

Kewajiban tersebut menurut Deddy dilatarbelakangi keinginan pemerintah dan universitas untuk menjadi world class university. Padahal, pemeringkatan universitas cenderung ideologis dengan parameter obyektif-kuantitatif dan syarat khusus tak tertulis (seperti dana yang besar) yang belum tentu bisa dipenuhi universitas kita.

“Paradigma pemeringkat universitas seperti Webometrics, QS World University Ranking dan QS Stars bersifat ”etnosentrik” yang menekankan keseragaman alih-alih keunikan universitas. Selama karya ilmiah harus berbahasa Inggris, bukan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Sampai kiamat kita tak akan mampu menyaingi universitas yang sudah berabad-abad menggunakan bahasa Inggris,” kata Deddy.

Menurut Deddy sebaiknya pemerintah kembali ke tujuan utama universitas yaitu untuk menghasilkan lulusan yang diserap pasaran kerja dan berkontribusi terhadap pembangunan bangsa, tak peduli apakah universitas itu berkelas dunia atau internasional. “Bukankah tujuan akhir pendidikan adalah kemas- lahatan umat manusia? Lembaga pengindeks atau penerbit jurnal internasional sering dituduh kapitalistik. Tak jarang penulis harus membayar uang ratusan dollar AS per artikelnya. Kalaupun tidak, artikel jurnal itu dijual oleh penerbit kepada pengguna. Selain memperkaya penerbit dan negara di mana penerbit itu berada, akademisi kita yang menghasilkan pengetahuan (apalagi tentang Indonesia) justru memperkaya pengetahuan negara lain yang sudah maju,” tegas Deddy.

Deddy menilai Jika mau adil, setiap karya ilmiah dibobot berdasarkan peringkat jurnal yang memuatnya, termasuk jurnal nasional, bukan hanya jurnal internasional terindeks Scopus. Jika perlu berdasarkan mutu karya ilmiah, terlepas dari jurnal yang memuatnya. ”Jika semua guru besar dan lektor kepala yang ingin menjadi guru besar harus menulis di jurnal terindeks Scopus, belum tentu jumlah jurnal terindeks Scopus itu memadai untuk menampung semua artikel mereka meski kualitasnya bagus. Selain itu, butuh setidaknya setahun sejak artikel dikirim ke jurnal hingga pemuatan melalui beberapa kali pengembalian untuk dikoreksi,” terangnya. (MSR/dikutip dari Opini Kompas)

Join The Discussion