Jakarta – Direktur Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai Rancangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan bentuk kemunduran otonomi daerah. Pasalnya, dalam RUU tersebut kewenangan bupati dan wali kota dalam hal pertambangan, kehutanan, perkebunan dan kelautan atau perikanan ditarik kembali dan diberikan kepada gubernur.
“Kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat diperkuat dalam hal pertambangan, kehutanan, perkebunan dan kelautan atau perikanan. Padahal kewenangan ini sebelumnya berada di kabupaten/kota. Ini adalah bentuk kemunduran otonomi daerah,”ujar Endi di Jakarta pada Rabu (24/9).
Menurut Endi pengambilalihan kembali wewenang daerah oleh pusat merupakan langkah mundur dalam pelaksanaan otonomi daerah. Padahal, sejatinya otonomi daerah merupakan upaya untuk mendekatkan pelayanan pemerintah ke masyarakat dan memperpendek jarak rentang kendali antara pusat dan daerah.
Endi mengkhawatirkan pemerintah daerah kabupaten atau kota menutup mata jika terjadi persoalan di daerahnya karena jauhnya rentang kendali antara daerah dan pusat.
“Misalnya terjadi bencana alam atau kebakaran hutan, pemerintah daerah akan mengatakan, ‘Itu bukan tanggung jawab kami, itu tanggung jawab pemerintah pusat.’ Penanganannya pun akan terlambat karena jauhnya persoalan dengan koordinasi pemerintah pusat” jelasnya.
Pemerintah pusat, menurut Endi, sebenarnya tetap memberikan otonomi kepada daerah dengan catatan bahwa gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat melakukan pengontrolan, pengawasan, dan pembinaan.
“Misalnya, gubernur dapat membekukan izin tambang atau mencabut perda yang dikeluarkan bupati atau wali kota jika bertentangan dengan UU yang berlaku dan merugikan kepentingan umum,” katanya.
Endi juga menyayangkan sikap Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) dan Asosiasi Pemerintah Provinsi Se-Indonesia (APPSI) yang lebih berperan sebagai pemadam kebakaran dibandingkan menjadi mencegah kebakaran dalam kaitan dengan RUU Pemda.
“Mereka (Apkasi, Apeksi, dan APPSI) baru berteriak satu-dua minggu terakhir ketika RUU Pemda sudah final untuk disahkan. Padahal, pembahasan RUU ini sudah berlangsung tujuh tahun. Kemana saja mereka selama ini?” tutur Endi.
Endi mengakui bahwa RUU Pilkada jauh dari pantuan publik lantaran perhatian publik tersedot ke pemilu dan RUU Pilkada. Sebagai bagian dari pokja Otda, KPPOD dan 6 LSM lainnya sudah terlibat dalam pembahasan RUU Pemda ini.
“Namun, setelah pilpres, perhatian kami semua terfokus ke RUU Pilkada,” tandasnya.
Langkah terakhir yang bisa dilakukan publik dan Apkasi, Apeksi, dan APPSI adalah mengajukan uji materi terhadap UU Pemda yang akan disahkan ke Mahkamah Konstitusi.
“Uji materi di MK lebih sulit karena harus meyakinkan hakim MK dengan argumentasi hukum, fakta, keterangan saksi terkait kerugian konstitusional dari orang atau kelompok yang mengajukan permohonan gugatan,” katanya.
UU Pemda mulai diwacanakan revisi pada tahun 2007. Pada saat itu, kemendagri membentuk tim yang kebanyakan terdiri dari pakar administrasi publik untuk memberikan masukan terkait revisi.
Pada tahun 2009, Gamawan Fauzi menjadi Menteri Dalam Negeri. Pembahasan revisi UU Pemda kembali intensif dilakukan pada tahun 2010. Awal tahun 2012, Rancangan UU Pemda masuk ke DPR. Sejak saat itu, RUU Pemda digodok secara serius oleh pemerintah dan DPR. Jika tidak ada halangan, RUU Pemda akan disahkan pada 25 September 2014.
Sumber : www.beritasatu.com