JAKARTA – Fransiska Kurniawan, peraih beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) mengaku malu sendiri lantaran rumitnya regulasi di Indonesia yang kerap menjadi batu sandungan dalam percepatan dan pengembangan kemajuan ilmu pengetahuan di Tanah Air.
Peraih beasiswa PMDSU di Sekolah Farmasi jurusan Kelompok Keilmuan Farmakokimia Institut Teknologi Bandung (ITB) ini berhasil meyakinkan promotornya, Prof Dr Daryono Hadi Tjahjono, M.Sc., Apt. dan co-promotor, Dr.rer.nat Rahmana Emran Kartasasmita untuk mengirimnya ke Jepang dalam rangka joint research dengan dosen dan peneliti di sana pada 2013 lalu, tepat di semester pertama program PMDSU berjalan.
Kemudian berikutnya, yakni 2015–2016, Fransiska juga mendapatkan kesempatan kembali ke Jepang dalam rangka mengikuti sandwich, program pendidikan penelitian wajib di luar negeri bagi penerima beasiswa PMDSU. Perempuan berdarah Sunda ini mengaku sempat grogi saat akan berangkat ke Jepang. Ia khawatir, keterbatasannya dalam berbahasa Inggris akan menjadi kendala bagi perjalanan jauh pertamanya tersebut.
“Harap maklum, karena sebelumnya saya tidak pernah pergi jauh-jauh dari Bandung,” ujar kelahiran Bandung, Jawa Barat, ini. Namun ketika di sana, bukan grogi yang dirasakannya, melainkan malu. Bukan pula malu karena sindrom gegar budaya, namun malu karena sistem regulasi di Jepang sangat jauh lebih memudahkan para peneliti dibandingkan dengan di Indonesia.
Perempuan kelahiran 30 Agustus 1991 ini membandingkan, untuk mendapatkan material dasar yang wajib bagi penelitian, di Jepang hanya membutuhkam waktu 2–3 hari kerja saja. Jauh berbeda dengan sistem regulasi di Indonesia, yang bisa memakan waktu hingga satu tahun untuk mendapatkan bahan penelitian yang sama.
“Dan ini sempat jadi bahan olok-olok saat saya di Jepang,” jelas Fransiska. Ia menceritakan, selama studi di Sekolah Farmasi ITB, banyak kendala yang dihadapi dalam penelitian. Kendala terbesar adalah menyiasati ketersediaan bahan baku, yaitu bahan-bahan kimia untuk sintesis senyawa kandidat obat.
Di Indonesia, bahan-bahan tersebut sulit untuk didapat sehingga Fransiska harus membeli dari perusahaan bahan-bahan kimia di Jepang. “Langsung ke pihak Jepang, kemudian dari pihak sana diberi kontak distributor di Indonesia. Saya bisa pesan bahan kimia via distributor tersebut dengan dijanjikan inden sekitar 2–3 bulan,” paparnya.
Inden ini cukup lama karena barang dikirim via kapal laut, juga perlu waktu untuk mengurus di bea cukai dan sebagainya. “Kami sudah membayar uang muka sebagai tanda jadi dan sudah juga menyertakan surat keterangan bahwa zat tersebut dibeli untuk kepentingan riset di kampus,” jelasnya. Tapi setelah 1,5 bulan menunggu, Fransiska mendapat kabar kalau zat tersebut dikembalikan lagi ke Jepang dan tidak boleh masuk Indonesia.
“Ya, jadi tidak aneh kalau riset di sana lebih maju. Dalam satu bulan saja banyak yang bisa dikerjakan, sementara kita di sini satu bulan habis hanya untuk menunggu zat yang kadang belum tentu datang juga,” ungkap Fransiska. Bahkan, sejumlah penelitian yang ia kerjakan saat ini juga mengalami kendala dan tersendat karena persoalan regulasi.
“Situasi demikian tidak hanya terjadi sekali, tetapi berkali-kali,” ujar Fransiska. Terlebih lagi jika isu terorisme dan produksi bom massal tengah mencuat, pengiriman bahan-bahan kimia untuk penelitian dipastikan turut terdampak. Hampir setiap materi yang dipesan Fransiska dan teman-teman peneliti lainnya ditahan pihak bea cukai.
Akibatnya adalah berbagai penelitian yang telah dilaksanakan terancam tidak selesai sesuai target yang direncanakan dan disinyalir akan gagal. Fransiska mengaku khawatir, jika situasi ini tidak segera dikondusifkan, kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia, khususnya farmasi, tidak akan bisa bergerak ke mana-mana. “Saya tidak tahu lagi harus menunggu sampai kapan.
Ya, meskipun saya tahu, alasan pemerintah menahan barang pesanan saya demi alasan keamanan,” keluhnya. Menurut Fransiska, semestinya ada proses screening barang yang jelas agar tahu mana bahan yang akan dipakai penelitian dan mana yang akan dipakai untuk kejahatan. Sembari menunggu bahan-bahan yang dipesannya sampai, biasanya ia mengisi waktu untuk membaca jurnal dan mencari metode alternatif lain untuk diujicobakan.
Meskipun karena terlalu lama menunggu, kadang kala ia juga merasa kesal dan putus asa. “Kalau sudah kelamaan nunggu, biasanya saya merasa kesal dan menyesal. Cuma, kadang saya mikir lagi, kan yang milih farmasi saya? Kenapa saya harus kesal sama diri saya sendiri dan menyesali keadaan ini?” ungkapnya.
Beasiswa PMDSU ini ditujukan bagi lulusan sarjana (S-1) terbaik (fresh graduate) di Tanah Air yang ingin menjadi dosen dengan menempuh pendidikan hingga doktor (S-3) selama empat tahun. Beasiswa PMDSU ditawarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemristekdikti. Ketika diminta tanggapannya soal beasiswa PMDSU, ia menilai PMDSU sudah sangat baik dalam mengelola keuangan dan persyaratan lainnya untuk kebutuhan selama studi.
Namun, menurutnya, pelayanan administrasi, pendataan mahasiswa dan pendataan penelitian, mesti lebih ditingkatkan lagi agar dalam prosesnya tidak ada yang tertukar atau bahkan tidak terdata namanya. Secara umum, peran PMDSU di dalam dunia pendidikan tinggi merupakan salah satu jalan paling efektif untuk membangun keilmuan di negeri ini. (IFR/Koran Jakarta)