News

Riset ungkap alternatif infus yang lebih aman

Serangkaian penelitian baru mengeksplorasi kandungan garam yang digunakan dalam cairan infus di rumah sakit menemukan bahwa larutan garam fisiologi itu mungkin tidak seaman yang diyakini sebelumnya.

NBC News (h/t Associated Press) melansir, dua penelitian besar ini menemukan bahwa konsentrasi garam yang saat ini digunakan dalam cairan infus menyebabkan peningkatan risiko kerusakan ginjal dan kematian.

Menggantinya dengan cairan alternatif dapat mengurangi angka kematian hingga 50 ribu sampai 70 ribu, dan mengurangi angka gagal ginjal sampai 100 ribu per tahun di Amerika Serikat.

Penelitian-penelitian ini dipresentasikan pada pertemuan tahunan Society of Critical Care Medicine (SCCM) pekan lalu. Penelitian tersebut juga dipublikasikan dalam terbitan terbaru jurnal New England Journal of Medicine.

Periset menjelaskan bahwa cairan infus adalah salah satu obat yang paling umum digunakan pada fasilitas perawatan kesehatan untuk mencegah dehidrasi, membersihkan luka, pemberian obat melalui intravena (IV), melakukan dialisis dan kemoterapi, juga menjaga tekanan darah pasien.

Cairan ini digunakan pada pasien yang tidak dapat makan sendiri dan membutuhkan nutrisi penting. Di AS, cairan infus telah digunakan selama lebih dari satu abad.

Bukti baru menunjukkan bahwa air garam pada osmolaritas atau konsentrasi yang diatur dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal, terutama bila digunakan dalam jumlah besar. Cairan lainnya adalah garam bersama dengan elektrolit lain seperti potasium yang digunakan di Eropa dan Australia.

Penelitian ini melibatkan lebih dari 28 ribu pasien yang dirawat di Vanderbilt University. Mereka diberi cairan infus biasa atau cairan IV yang seimbang.

Periset mencatat bahwa untuk setiap 100 pasien yang menerima cairan IV seimbang, ada satu kematian atau kerusakan ginjal yang lebih sedikit. Ini membuktikan bahwa cairan IV yang seimbang lebih aman daripada pemberian cairan garam biasa.

Wesley Self, MD, seorang profesor kedokteran di Vanderbilt University School of Medicine di Nashville menjelaskan bahwa cairan infus biasa mengandung kadar natrium dan klorida yang sangat tinggi, jauh lebih banyak daripada yang ada dalam darah. Ini mungkin menjelaskan alasan di balik bahaya infus yang diungkap periset.

Untuk penelitian ini, periset menggunakan cairan garam dan cairan seimbang atau alternatif selama satu bulan setiap tahun di ruang gawat darurat dan di unit perawatan intensif di rumah sakit mereka.

Pada setiap bulan genap mereka menggunakan cairan garam, dan pada bulan ganjil, mereka menggunakan cairan seimbang seperti lactate Ringer atau Plasma-Lyte-A. Cairan seimbang ini memiliki kandungan sodium kurang daripada garam.

Semua pasien kemudian ditindaklanjuti selama 30 hari untuk dilihat keadaannya. Terungkap bahwa angka kematian dan kerusakan ginjal jauh lebih sedikit pada pasien yang mendapat cairan seimbang daripada cairan garam.

“Hasil kami menunjukkan bahwa dengan menggunakan cairan yang seimbang dapat mencegah kematian atau disfungsi ginjal berat untuk ratusan pasien Vanderbilt dan puluhan ribu pasien di seluruh negeri setiap tahunnya,” tutur penulis studi Dr. Matthew Semler.

Sebagai gambaran, dari 7.942 pasien yang menerima cairan seimbang, 1.139 di antaranya menderita komplikasi. Sementara, di sisi lain dari 7.860 pasien yang menerima cairan garam, 1.211 di antaranya mengalami komplikasi.

Bedanya memang tipis, 1,1 persen. Akan tetapi menurut Self, perbedaan ini menjadi besar ketika mempertimbangkan jumlah pasien yang jutaan.

Dr. Semler mengatakan, di AS ada sekitar 30 juta pasien rawat inap setiap tahun. Penggunaan cairan seimbang alih-alih cairan garam dapat mencegah puluhan atau ratusan ribu kematian dan kerusakan ginjal.

Menanggapi hasil penelitian, rumah sakit Vanderbilt kini sudah beralih ke cairan seimbang dan meninggalkan cairan infus biasa. Kedua jenis cairan tersebut serupa dalam hal biaya, dan kebanyakan pabrikan membuat kedua jenis cairan tersebut.

Ini berarti, perubahan itu sebenarnya murah pun mudah.

Dua studi senada pada populasi yang lebih besar sedang berlangsung di Brasil dan Australia. Periset berharap, hasilnya kelak dapat memberikan wawasan lebih dalam mengenai masalah ini.

Penelitian ini memiliki sejumlah keterbatasan. Pertama, dokter dan perawat mengetahui solusi apa yang pasien mereka dapatkan. Ini mungkin telah memengaruhi hasilnya, karena hal itu memungkinkan asumsi pribadi dokter tentang solusi mana yang paling baik bagi pasien.

Selain itu, studi ini terbatas pada satu rumah sakit. Sesuatu yang bisa saja menimbulkan bias.

Meski begitu, para ahli mengatakan bahkan dengan kekurangan-kekurangan tersebut, penelitian ini merupakan uji dunia nyata yang penting. Mestinya dapat membuat rumah sakit mulai memikirkan ulang apa yang mereka masukkan ke dalam infus pasien. (IFR/Beritagar.id)

Join The Discussion