News

Riset UI: Kemampuan Masyarakat Beli Tiket Pesawat Maksimal Rp 1,5 Juta

Dikutip dari katadata.co.id, Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (LM FEB) Universitas Indonesia menilai masyarakat masih mampu membeli tiket pesawat di sejumlah rute domestik. Hal itu dilihat dari penelitian yang berfokus pada analisa keterjangkauan untuk membayar alias Affordability to Pay (ATP) dan kesediaan untuk membayar alias Willingness to Pay (WTP) penumpang angkutan udara.

Dari hasil BUMN Research Group (BRG), unit independen di bawah Lembaga Manajemen, secara umum ATP dan WTP untuk angkutan udara di relatif serupa, yaitu berada di level Rp 1 juta hingga Rp1,5 juta. Harga tiket pesawat di beberapa rute domestik, seperti Jakarta-Surabaya, Jakarta-Yogyakarta, dan Jakarta-Denpasar dianggap cukup kompetitif. “Artinya, kemampuan daya beli penumpang dengan manfaat yang dirasakan cukup sejalan,” kata Peneliti BRG LM FEB UI, Arza Prameswara melalui siaran pers, Selasa (28/5).

Penelitian tersebut dilakukan dengan mengambil sampel sembilan rute penerbangan tersibuk di Indonesia yang menggunakan layanan penerbangan dalam empat bulan terakhir. Total jumlah responden sebanyak 630 orang.

Peneliti BRG lainnya, Yasmine Nasution menjelaskan, sepanjang Mei 2019, rentang tarif untuk rute Jakarta-Surabaya berkisar antara Rp 840 ribu hingga 1,3 juta. Angka ini relatif sebanding dengan tarif yang dikenakan maskapai di Malaysia untuk rute Johor Baru-Alor Star dengan jarak tempuh 771 kilometer di level Rp 755 ribu-Rp 1,3 juta.

Di sisi lain, penelitian ini  membuktikan harga tiket untuk rute Jakarta-Medan diangap mahal. “Terdapat kesenjangan antara kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk membeli,” kata Arza.

Harga tiket yang berlaku untuk rute Jakarta-Medan di rentang harga Rp 1 juta hingga 2,8 juta. Hal ini mendorong fenomena sebanyak 21% responden bersedia beralih menggunakan maskapai penerbangan asing dengan penerbangan transit internasional.

Dampak Mahalnya Tiket Pesawat

Kenaikan tarif pesawat pun berdampak langsung pada penurunan jumlah penumpang di bandara. Sehingga, berimplikasi terhadap penurunan pendapatan bandara. Seperti Bandara Internasional Minangkabu yang tercatat mengalami penurunan pendapatan di awal 2019 sebesar 25% dibanding capaian tahun sebelumnya.

“Mahalnya tiket pesawat akan berimbas pada sektor pariwisata. Hal ini terlihat dari penurunan konsumen hotel dan transportasi di kuartal I 2019,” kata Yasmine.

Hal ini akan menjadi tantangan bagi target pengembangan sektor pariwisata Indonesia. Apalagi harga tiket ke destinasi wisata luar negeri bisa lebih murah. Dari hasil kajian tim, rasio harga per kilometer untuk rute Jakarta-Denpasar bersaing ketat dengan Jakarta-Bangkok dan Jakarta-Kuala Lumpur.

Dalam kesempatan yang sama, Managing Director LM FEB UI Toto Pranoto menjelaskan, mahalnya tiket penerbangan domestik perlu diantisipasi dengan cepat karena menjadi celah bagi maskapai asing untuk melakukan penetrasi di pasar Indonesia. Isu beralihnya penumpang ke maskapai asing terlihat pada rute Jakarta-Medan melalui transit Kuala Lumpur.

“Dari hasil survei, kesediaan penumpang untuk transit jika terbang dengan maskapai asing (rute Jakarta-Medan) yang cukup lama antara 3-5 jam,” terangnya.

Implikasi lain dari kenaikan harga tiket adalah pergeseran penumpang pesawat ke angkutan darat. Kementerian Perhubungan memprediksi 30-40% yang biasanya menggunakan transportasi udara akan beralih ke darat. Bukan hanya karena kenaikan harga tiket pesawat, tetapi juga beroperasinya Tol Trans Jawa dan akses yang mudah.

Meski ada masalah inefisiensi pengelolaan maskapai yang membuat harga tiket meningkat, Toto berpendapat penetapan harga tiket pesawat tidak bisa dipandang sebagai suatu kebijakan secara umum, melainkan spesifik untuk masing-masing rute.

Karenanya, Toto menilai pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal dalam penentuan batas tarif pesawat. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan pemerintah antara lain, aspek efisiensi maskapai, persaingan maskapai dalam dan luar negeri, alternatif transport, karakteristik rute, serta dampak perekonomian daerah.

Menurutnya, sebagai negara kepulauan, industri transportasi tidak bisa dipisahkan antara transportasi darat, udara dan laut. Sehingga dibutuhkan kajian menyeluruh terkait tarif transportasi.

“Karena tidak hanya terkait dengan permasalahan konektivitas, transportasi terintegrasi, pemerataan pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, kondisi perusahaan transportasi dan juga persaingan di industri transportasi,” kata Toto.

Join The Discussion