News

Riset Sebut 71 Persen Pengguna Ojol Tolak Kenaikan Tarif

Jakarta, dikutip dari CNN Indonesia — Lembaga riset Research Institute of Socio-Economic Development (Rised) mengungkapkan 71,12 persen pengguna ojek online akan menolak skema tarif batas bawah Rp 3.100 per kilometer yang disiapkan pemerintah.

Penolakan ini akan membuat penurunan jumlah pesanan yang diterima oleh pengemudi ojol. Persentase tersebut didapat dari hasil survei yang melibatkan 2001 konsumen ojek online di 10 provinsi dan 17 kabupaten kota.

Berdasarkan hasil survei, 48,13 persen responden menerima penambahan biaya di bawah Rp5 ribu per hari. Sedangkan 22,99 persen tidak mau mengeluarkan biaya tambahan sama sekali.

Ketua tim peneliti Rised Rumayya Batubara mengatakan dalam sehari, rata-rata konsumen memiliki jarak tempuh 8,8 kilometer. Dengan jarak tempuh tersebut, apabila terjadi kenaikan tarif dari Rp 2.200 per km menjadi Rp3.100 per km maka ada perbedaan Rp900 km.

Kemudian Rp900 tersebut dikalikan dengan rata-rata jarak tempuh konsumen, yakni 8,8 km. Angka yang akan muncul adalah Rp 7.920 per hari.

“22 persen bilang tidak mau adanya tambahan biaya. 48 persen bersedia kenaikan tarif tapi kurang dari Rp5 ribu per hari. Kalau digabungkan ada angka 71,12 persen,” kata Rumayya pada acara peluncuran hasil survei yang diselenggarakan di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (11/1).

Berdasarkan hasil survei, 74 persen responden mengatakan tarif ojok online sudah sesuai hingga sangat mahal. Persentase ini juga menjadi acuan Rumayya untuk menunjukkan potensi kehilangan konsumen yang akan dialami oleh aplikator.

Rumayya menjelaskan bisnis ini dianggap agak sensitif karena yang menggunakan ojek online rata-rata adalah yang memiliki pendapatan Rp2 juta ke bawah hingga Rp7 juta.

Sehingga sekecil apa pun perubahan pasar akan membuat konsumen melakukan evaluasi jumlah pengeluaran. Hal ini membuat Rumayya menyarankan agar pemerintah lebih berhati-hati dalam merubah harga tarif ojek online.

“Kalau pemerintah coba dorong tarif ke atas, akan ada kemungkinan kehilangan driver yang awalnya ingin mendapatkan tambahan tarif malah kehilangan konsumen,” kata Rumayya.

Oleh karena itu, Rumayya mengatakan konsumen juga berpotensi untuk beralih menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini dipastikan akan menimbulkan kemacetan.

Berdasarkan hasil survei, 8,85 persen responden tidak pernah kembali menggunakan kendaraan pribadi setelah adanya ojol. 72,52 persen responden masih menggunakan kendaraan pribadi dengan frekuensi 1 sampai 10 kali per minggu.

“Ada 81 persen peningkatan penggunaan kendaraan pribadi kalau ada kenaikan tarif. Ojol juga jadi pendukung transportasi massa yang ada. Kan cluster kebanyakan jauh dari stasiun atau terminal. Dengan adanya ojol yang rumahnya jauh dari terminal atau stasiun jadi mau pakai kendaraan publik, ” ujar Rumayya. (CNN Indonesia)

Join The Discussion