News

Riset: Rupiah Terus Melemah, Bagaimana Nasibnya ke Depan?

Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI pada tanggal 15 Agustus sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5 persen, sehingga kenaikan kumulatif tahun ini menjadi 125 bps. Ketika konsensus memperkirakan jeda, perkiraan tersebut berlangsung sebelum pertarungan terkini mengenai volatilitas pasar keuangan. Dalam pernyataannya usai kebijakan, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menegaskan, preferensi BI terhadap kebijakan “pre-emptive, front loading, and ahead the curve”. Proyeksi pertumbuhan tertahan pada 5,0-5,4 persen pada 2018, dengan jumlah inflasi yang terlihat berkisar 2,5-4,5 persen.
Mengapa BI menaikkan suku bunga?
Economist DBS Group Research Radhika Rao dalam risetnya menyebutkan, tidak bisa dipungkiri, faktor kunci yang mengarahkan keputusan pada kenaikan adalah kecepatan depresiasi kurs rupiah dan kebutuhan untuk menahan ketidakstabilan pasar uang. Mata uang telah berada di bawah tekanan sejak awal tahun, dengan peningkatan penjualan yang terjadi pada pekan ini ketika krisis mata uang Turki terungkap. Jatuhnya nilai rupiah tidak dalam isolasi, tetapi bagian dari penjualan yang lebih besar dalam mata uang EM, dipimpin oleh Peso Argentina dan Rand Afrika Selatan. Namun, di antara kelompok Asia terkecuali Jepang, rupiah tampil kedua terburuk (-1,2 persen month-to-date), di bawah Rupe India (-1,9 persen). Kelemahan dalam mata uang juga menyebar hingga pasar obligasi hingga 10 tahun hasil investasi naik melewati 8 persen dan ekuitas terus merugi. Dominasi investor asing dalam pasar obligasi IDR dan ketergantungan pada investor portofolio menyebabkan upaya menjaga diferensiasi tingkat kurs secara positif sangat penting.
Mengutip data perdagangan Reuters, hingga pukul 10.50 WIB, dolar AS bertengger di posisi Rp 14.658, jauh lebih tinggi dari posisi pembukaan pagi tadi di level Rp 14.625.
Langkah apa lagi yang dapat diambil?
Bersama dengan kenaikan suku bunga, langkah lain tanpa melalui kebijakan dapat diambil. Terlepas dari kenaikan suku bunga senilai 125 bps antara Mei dan Agustus, bank sentral terus melakukan intervensi dalam pasar uang domestik dan pasar obligasi. Sebagai refleksi, cadangan asing telah menurun sebesar USD 14 miliar sejak Januari hingga USD 118 miliar pada bulan Juli. BI juga mempertahankan agar pertukaran provisi mata uang asing pada tingkat yang atraktif, sehingga membantu menjaga pertukaran premium. Pemerintah telah mengambil peran kohesif, setelah kekhawatiran terhadap keseimbangan eksternal yang akan muncul kembali setelah kuartal II Current Account Deficit (CAD) meluas menjadi -3,0 persen GDP vs -2,2 persen GDP, dengan defisit perdagangan yang sangat lebar pada Juli (pada – USD 2 miliar vs surplus USD 1,7 miliar di Juni) menempatkan kuartal III pada pijakan yang lebih lemah.
Usaha yang terarah juga diberlakukan untuk menopang pasokan dolar melalui, a) membatasi impor kapital dan mengganti dengan alternatif domestik. Pihak berwenang kemungkinan memberikan penalti terhadap impor yang tidak krusial atau tidak strategis, termasuk membekukan sejumlah proyek infra; b) badan usaha milik negara yang bergerak di bidang energi, PT Pertamina, telah ditetapkan sebagai pembeli utama untuk pasokan BBM lokal, dalam upaya untuk mengurangi permintaan impor BBM. Penggunaan campuran sawit dan biodiesel kemungkinan akan dimandatkan, di mana para pejabat percaya akan menurunkan biaya impor hingga USD 2,3 miliar tahun ini; c) mengambangkan penerbitan obligasi USD juga telah didiskusikan, namun kemungkinan hanya menjadi upaya terakhir.
Apa yang menanti di depan?
Kenaikan suku bunga pada hari Rabu pekan lalu kemungkinan bukanlah akhir dari siklus kenaikan suku bunga. Sebagai landasan kami telah menyampaikan kenaikan 50 bps untuk semester II 2018. Dengan 25 bps yang telah dilakukan pada hari Rabu, sisanya diperkirakan akan terjadi dalam kuartal IV. Oleh karena itu, kemungkinan akan kenaikan suku bunga Amerika lebih lanjut, keteguhan USD serta masih adanya kekhawatiran atas perang dagang Amerika dan China, tanpa mengesampingkan resolusi untuk krisis Turki, menunjukkan bahwa pintu tetap terbuka untuk kenaikan suku bunga lebih jauh pada sisa tahun ini.
Dengan demikian, langkah yang diambil pada Rabu lalu diperkirakan akan membawa dukungan tentatif untuk mata uang namun pembuat kebijakan harus tetap berjaga-jaga sehubungan dengan perkembangan global. Reformasi subsidi atau liberalisasi harga BBM cenderung tak akan terjadi sebelum pemilu tahun depan, sehingga langkah-langkah heterodox akan menjadi penopang kenaikan suku bunga BI dalam upaya menangani defisit kembar Indonesia.
Gambaran Suku Bunga
Volatilitas yang berkelanjutan di negara berkembang mengarah kepada tanggapan yang meredam kejutan peningkatan 25 bps oleh BI. Suku bunga yang lebih tinggi adalah ketegasan positif dari sudut pandang stabilitas makro ketika kekhawatiran terhadap Turki masih berlangsung. Langkah-langkah dukungan dari pihak yang berwenang dapat membantu. Pasar obligasi pemerintah relatif stabil. Oleh karena itu, reaksi terhadap NDF kurang konstruktif. Kembali pada akhir Juni, implikasi suku bunga tenor 1M jatuh secara signifikan usai kenaikan 50 bps. Saat ini, implikasi suku bunga 1M naik hingga 14,2 persen, dibandingkan dengan 9,4 persen dalam penutupan perdagangan hari sebelumnya. (KUMPARAN)

Join The Discussion