JAKARTA- Maarif Institute for Culture and Humanity menemukan belum ada kebijakan yang spesifik untuk memproteksi sekolah dari penetrasi paham dan gerakan radikal. Direktur Maarif Institute, Abdullah Darraz mengatakan, keberadaan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) atau kegiatan ekstrakurikuler belum mampu membendung arus radikalisasi di sekolah.
Darraz menuturkan, temuan tersebut merupakan hasil riset dari 40 Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) negeri maupun swasta. Penelitian dilakukan di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan Sulawesi Utara pada Oktober-Desember 2017. Ia menekankan, kunci dari permasalahan ini adalah bagaimana Kepala Sekolah menseleksi mentor atau pembimbing serta mengawasi kegiatan OSIS dan ekstrakurikuler.
“Kalau misalnya kita punya mentor-mentor yang confirm dengan isu kebhinekaan, Pancasila dan anti terhadap radikalisme, saya kira menjadi hal yang penting untuk bagaimana kita lebih memperkuat ketahanan sekolah dan menjaga dari kelompok-kelompok radikal ini,” kata Daraz kepada KBR di Kawasan Jakarta Pusat, Jumat (26/01/18).
Darraz mengatakan, hasil penelitian menunjukkan proses masuknya radikalisme di sekolah melalui tiga pintu yakni alumni, guru dan kebijakan sekolah. Menurutnya, itu disebabkan kurang pemahaman dan kesadaran sekolah tentang peta gerakan radikalisme.
Dia menjelaskan, guru yang berperan sebagai aktor radikalisasi ini terafiliasi kelompok radikal di luar sekolah. Guru tersebut tidak terfokus hanya guru mata pelajaran agama tapi juga mata pelajaran lainnya. Ia mengatakan, paham radikal disusupkan di sela kegiatan belajar mengajar serta kegiatan kelas tambahan di luar jam sekolah.
“Guru ini dua, dia sebetulnya bisa menjadi aktor radikalisasi itu sendiri dan sebaliknya dia bisa meng-counter radikalisme yang terjadi,” ujarnya.
Hasil riset menemukan kebijakan tentang kegiatan pembinaan kesiswaan seringkali kontradiktif antara pusat dan daerah. Darraz mengatakan, program pendidikan karakter yang telah dicanangkan Negara sejak 2011 diterjemahkan oleh pemangku kebijakan daerah sebatas pada aspek keagamaan tertentu. Menurutnya, proses penerjemahan seperti ini telah menciptakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Daraz menambahkan, kebijakan sekolah sangat dipengaruhi kebijakan pemerintah daerah sejak berlakunya otonomi. Implikasinya, kebijakan-kebijakan tersebut hanya mengakomodir salah satu agama tertentu, agama mayoritas yang dianut masyarakat.
“Misalnya di Padang ada Perda berbusana muslim. Meskipun itu awalnya diterapkan pada siswi muslim tapi pada praktiknya itu diterapkan pada siswi nonmuslim,” kata Dia.
Maarif Institute mendorong adanya evaluasi terhadap regulasi-regulasi tingkat daerah tersebut. Selain itu, kata Daraz, Maarif Institute juga mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama untuk mengimplementasikan empat model daya tahan sekolah yang antiradikalisme. Empat model itu yakni sekolah inklusif, sekolah penuh patronase harmoni dan bhineka, sekolah kebangsaan dan nasionalisme, serta guru dan siswa menjadi benteng anti radikalisme. (kbr.id)