News

Riset: Jumlah Kelompok Pro Pancasila Menurun

Menjelang perhelatan politik pemilihan umum dan presiden pada 2019, gesekan antarkelompok di masyarakat diperkirakan semakin meruncing. Hasil penelitian Lingkar Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyatakan jumlah penduduk yang mendukung azas Pancasila semakin menurun, dan dikhawatirkan memicu kebangkitan kelompok sektarian yang bisa memecah belah persatuan bangsa Indonesia.
“Dalam jangka waktu 13 tahun publik yang mendukung pancasila angkanya semakin menurun,” ujar peneliti LSI Denny JA, Ardian Sopa, di kantor LSI, Rawamangun, Jakarta Timur, Selasa (17/7).
Menurut Ardian menjelaskan, jajak pendapat itu melibatkan 1.200 responden yang dipilih secara acak tersebar di seluruh Indonesia selama periode 28 Juni hingga 5 juli 2018. Hasilnya, 75,3 persen responden memang masih mendukung Pancasila. Namun, ada 13,2 persen responden ingin Indonesia menjadi negara berazaskan Islam. Sedangkan 11,5 persen responden tidak tahu atau tidak menjawab
Survei ini dilakukan dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner dengan tingkat kesalahan (margin of error) sebesar 2,9 persen.

Secara khusus, kata Ardian, isu kebangsaan ini perlu disampaikan para kandidat capres dan cawapres guna mencegah terjadinya perpecahan dan munculnya politik identitas selama masa kampanye.

“Masyarakat masih banyak yang khawatir terjadinya politik identitas pada Pilkada DKI terulang kemali pada pilpres 2019. Ini juga kalau kita melihat latar belakangannya dari survei pada 2005 hingga 2018 ada penurunan terhadap pro pancasila. Dari 2005 sebanyak 85 persen sekarang tinggal 75 persen. Jadi, dalam kurun waktu 13 tahun ada penurunan 10 persen,” kata Ardian.

Menurut Ardian survei dengan tema serupa sudah dilakukan pada 2005, 2010, dan 2015.

Hasil survei 2005, publik yang pro Pancasila sebanyak 85,2 persen. Sebanyak 4,6 persen responden ingin Indonesia berdasarkan NKRI bersyariah (Pro-NKRI bersyariah) dan 10,2 persen responden tidak tahu atau tidak menjawab.

Hasil survei 2010 menunjukkan angka sebanyak 81,7 persen responden yang pro Pancasila. Sebanyak 7,3 persen responden ingin Indonesia berdasarkan NKRI bersyariah (Pro-NKRI bersyariah) dan 11.0 persen responden tidak tahu atau tidak menjawab.

Kemudian, hasil survei 2015 menunjukkan angka sebanyak 79,4 persen responden yang pro Pancasila. Sebanyak 9,8 persen responden ingin Indonesia berdasarkan NKRI bersyariah (Pro-NKRI bersyariah) dan 10,8 persen responden tidak tahu atau tidak menjawab.

Jumlah responden dalam survei pada 2005, 2010 dan 2015 diklaim tetap sama. Hanya saja, ketika itu peneliti tidak memakai diksi pro Pancasila tetapi NKRI berdasarkan nilai agama. Istilah Pro Pancasila baru populer beberapa waktu belakangan.

“Bagaimana kami bisa tanya itu di 2005 padahal kata NKRI bersyariah baru muncul 2015. Saat itu diksi yang digunakan, NKRI berdasarkan nilai agama. Kalau sekarag padanan katanya NKRI pro syariah,” kata Ardian.

Ardian melanjutkan, berdasarkan hasil survei Juni-Juli 2018 juga diketahui bahwa sebanyak 7,3 persen publik menginginkan calon presiden dan wakil presiden yang bertarung pada 2019 nanti membawa isu kebangsaan dan kebersamaan dalam program kerja dan kampanyenya. Sedangkan yang menjawab tidak perlu sebanyak 16,6 persen dan yang tidak tahu atau tidak menjawab 8, 1 persen. (IFR/CNN)

Join The Discussion