DHAKA – Sebuah lembaga penelitian yang berbasis di AS melakukan penelitian terhadap anak-anak pengungsi Rohingya yang ada di Bangladesh. Hasil penelitian menunjukkan anak-anak pengungsi etnis minoritas Myanmar itu mengalami darurat gizi buruk serta anemia.
Hasil penelitian yang diungkapkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat pada Selasa (10/4/2018) itu berdasarkan pengamatan dan pemeriksaan terhadap total 269 anak pengungsi Rohingya yang berada di kamp penampungan pengungsi di Kutupalong pada Oktober 2017 lalu.
Anak-anak yang diperiksa oleh lembaga tersebut mulai dari bayi usia enam bulan hingga anak-anak berusia lima tahun.
Dalam penelitian tersebut, sebanyak 24 persen anak-anak mengalami malnutrisi sangat parah yang meningkatkan risiko penyakit, kelaparan hingga kematian. Sekitar 43 persen diketahui mengalami malnutrisi parah dan 48 persen terindikasi anemia.
Hasil itu telah melampaui batas ambang darurat yang ditetapkan sebelum harus dilakukan tindakan segera.
“Ambang darurat global untuk situasi masalah kesehatan masyarakat yang dianggap harus diambil tindakan segera adalah malnutrisi sangat parah 15 persen dan anemia 40 persen,” tulis laporan peneliti.
Namun para peneliti mengingatkan, penelitian yang mereka lakukan masih terbatas pada satu kamp penampungan.
“Ukuran sampel yang kecil digunakan agar didapat hasil cepat dalam konteks keadaan darurat. Hasil mungkin dapat berbeda di kamp-kamp pengungsi lain,” tambah laporan peneliti dalam Jurnal Asosiasi Medikal Amerika (JAMA).
Ada hampir satu juta pengungsi etnis Rohingya yang kini berada di kamp-kamp pengungsian yang kumuh dan penuh sesak di Bangladesh.
Sekitar 700.000 di antaranya adalah mereka yang melarikan diri dari kampung halaman mereka di Rakhine setelah mendapat serangan dari militer Myanmar pada Agustus 2017 lalu. ( KOMPAS.COM)