KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah belum bisa berbangga tingkat ketimpangan sosial masyarakat menurun, lantaran International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) melalui riset terbarunya soal pengukuran ketimpangan sosial menurut persepsi warga 2017 justru alami peningkatan.
Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2017 merilis rasio gini berada di skor 0,391, terus menurun sejak 2014 yang berada di angka 0,414, 2015 berada di angka 0,402, dan pada 2016 di angka 0,394.
Namun dari survei yang dilakukan INFID, persepsi masyarakat terhadap ketimpangan justru melonjak. Dari survei serupa pada tahun lalu persepsi masyarakat terhadap ketimpangan berada di angka 4,4 sementara pada 2017 meningkat menjadi 5,7.
Meski demikian apa yang dilakukan INFID memang berbeda yang dilakukan oleh BPS, Bagus Takwin Peneliti Utama INFID mengatakan “Survei ketimpangan sosial ini menurut persepsi warga untuk mengukur sejauh mana ketimpangan terjadi di ranah hidup dan memang pasti subjektif,” kata Bagus saat memaparkan hasil surveinya di Jakarta, Kamis (8/2).
Ada sepuluh indikator yang dijadikan INFID sebagai sumber ketimpangan, yaitu penghasilan, pekerjaan, tempat tinggal, harta benda, kesejahteraan keluarga, pendidikan, lingkungan tempat tinggal, keterlibatan politik, hukum, dan kesehatan.
INFID melakukan survei tersebut sejak September hingga November 2017 hingga November 2017, dan dilaksanakan dengan metode multistage random sampling di 34 provinsi dengan 2250 partisipan.
“Indeks ketimpangan sosial ini mengindikasikan berapa banyak ranah dari 10 ranah yang dinilai timpang oleh seluruh responden. Artinya dengan skor 5,6 masyarakat menilai setidaknya ada lima hingga enam sumber ketimpangan,” sambung Bagus.
Ia menambahkan secara keseluruhan 84% partisipan mempersepsikan adanya ketimpangan setidaknya pada satu ranah. Atau delapan dari sepuluh masyarakat mempersepsikan adanya ketimpangan.
Dari sepuluh sumber ketimpangan yang jadi indikator, penghasilan miliki nilai tertinggi. 71,1% partisipan menilai penghasilan yang ia terima mengalami ketimpangan.
Sementara selanjutnya adalah pekerjaan sebesar 62,6%, tempat tinggal 61,2%, harta benda 59,4%, kesejahteraan keluarga 56,6%, pendidikan 54%, lingkungan tempat tinggal 52%, keterlibatan politik 48%, hukum 45%, dan kesehatan 42,3%.
Dalam laporan lengkapnya, selain paling besar mempengaruhi persepsi ketimpangan, indikator penghasilan berdampak pada ketimpangan pada kepemilikan rumah dan harta benda, pendidikan dan kesehatan.
“Yang paling berpengaruh adalah penghasilan. Ketimpangan dilihat dari seberapa besar masyarakat menggunakan uang dalam belanja, menabung. Nah berapa kemudian yang bisa ia belanjakan untuk memenuhi kebutuhannya. Kalau kurang mereka anggap ada ketinggian,” papar Bagus.
Sementara itu Yanuar Nugroho, Deputi II Bidang Kajian dan Pengelolaan Program Prioritas Kantor Staf Presiden mengatakan hasil survei tersebut dapat memberikan masukan bagi pemerintah.
“Cukup baik untuk masukan kami, nanti kita akan undang ke KSP. Lagipula ini adalah gambaran di masyarakat, berbeda dengan indeks gini yang dilakukan BPS,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.