News

Ratusan Penelitian Berakhir Mubazir

MALANG KOTA – Dalam lomba inovasi mahasiswa berupa Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Indonesia (Kemenristekdikti) tahun ini, ada 329 inovasi mahasiswa di Kota Malang yang lolos.

Kendati demikian, mayoritas dari penelitian tersebut sulit terealisasi dan sulit untuk diproduksi secara masal.

Salah seorang periset muda dari Universitas Negeri Malang (UM) Robby Wijaya menyatakan, dia dan beberapa temannya banyak yang buta arah mengenai alur produksi masal hasil dari inovasi mereka. Selain masih terkendala waktu kuliah, menurut Robby, seharusnya pemerintah dan kampus bisa men-support karya mereka. Agar tidak hanya jadi penelitian tertulis saja, sehingga menjadi penelitian yang mubazir (sia-sia).

”Ketika mau tahap realisasi, harus ada tinjauan lebih lanjut dan mendalam. Itu yang butuh waktu, tenaga, dan biaya ekstra,” ucap mahasiswa jurusan teknik otomotif ini, pekan lalu.

Kadang kala, ketika dia atau tim lain meminta review atau support dana dan kerja sama dari pemerintah, sering kali berakhir alot. ”Padahal, inovasi mahasiswa itu bisa menjawab kebutuhan pemerintah,” keluh Robby.

Paling mudah, bagi Robby dan tim lain, melakukan kerja sama dengan pihak ketiga. Entah instansi swasta atau asing. ”Kalau mereka, langsung berfokus pada keuntungan. Jadi, pilihannya kerja sama atau membeli inovasi mahasiswa,” ujarnya.

Baginya, tidak masalah jika pihak ketiga ini hanya berfokus kepada keuntungan. Toh, dia dan tim periset lain tidak terlalu berfokus pada keuntungan.

”Fokus kami melihat bagaimana inovasi kami menjawab tantangan kebutuhan masyarakat,” imbuh mahasiswa asal Probolinggo ini.

Sama dengan Robby, periset muda lainnya merasakan betul pahitnya inovasi yang sulit direalisasikan. Nurul Rodiyah, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya menjelaskan, daripada berkutat meminta kerja sama dengan pemerintah, lebih baik bekerja sama dengan pihak ketiga atau memproduksi inovasi sesuai permintaan.

Biasanya, produksi by request ini dilakukan pada inovasi teknologi pertanian, seperti pengusir hama, alat untuk racun lebah, atau inovasi berupa produk pangan, lifestyle, dan lainnya.

”Karena dengan by request, perputaran modalnya mudah diatur daripada urunan antaranggota,” ujar Nurul.

Pendanaan dari Dikti, kadang kala tidak mencukupi modal produksi. Jumlah dana yang dikeluarkan tidak mengakomodasi seluruh nilai pendanaan yang diajukan mahasiswa. Ada yang hanya mengakomodasi setengah dari nilai pengajuan proposal, ada yang hanya seperempat saja. Padahal, setelah tahap pendanaan, menurut Nurul, dijelaskan jika dana itu masih belum menutupi modal mereka.

”Karena pada tahap realisasi produk, periset masih harus mencoba trial dan error saat memproduksi. Begitu dana turun, tidak menutup modal awal,” imbuhnya.

Sementara itu, dosen UM sekaligus Direktur Politeknik Kota Malang (Poltekom) Dr Isnandar MT menjelaskan, alotnya realisasi ini karena belum adanya unit khusus yang mengurusi inovasi.

”Saat ini, masih belum ada yang mengawal khusus inovasi hingga masuk tahap produksi,” ujarnya.

Isnandar menjelaskan, saat ini tantangan mahasiswa harus mampu terjun ke dalam revolusi industri 4.0. ”Kalau menuju ke situ, jangan hanya mengandalkan proposal ke pemerintah atau swasta,” tambah Isnandar.

Isnandar menilai, realisasi inovasi sulit terwujud, jika pemimpin kampus tidak welcome. ”Kalau pimpinan kampus termasuk kelompok inovator, merealisasikan inovasi mahasiswa tidak akan sulit,” kata Isnandar.

Sebaliknya, jika pimpinan kampus tidak memiliki sifat inovatif, akan menghambat realisasi inovasi mahasiswa. Masalah jumlah inovasi mahasiswa yang bisa dibilang sangat besar, bagi Isnandar, bukan masalah.

”Kampus tinggal menyeleksi mana yang cocok direalisasikan, mana yang tidak,” imbuhnya. (IFR/RadarMalang.com)

Join The Discussion