JAKARTA – Ketika masyarakat tidak siap dengan kemajuan itu, ekses negatif pun merebak.Kompas (6/2/2017) mencatat bagaimana reproduksi informasi melalui peranti digital dapat memicu konflik sosial di sejumlah tempat di Indonesia. Gara-garanya, banyak masyarakat yang sekadar membagi tautan dan konten ke akun media sosial tanpa mengecek kebenaran informasi yang disebarkannya. Kondisi tersebut menguak kembali kondisi literasi di Tanah Air yang masih memprihatinkan. Melek digital (digital literacy) yang selalu dihubungkan dengan kemampuan masyarakat membaca dan mengevaluasi informasi yang mereka peroleh.
Dalam konteks yang lebih luas, menurut Dyah Safitri Dosen Manajemen Informasi dan Dokumen, Program Pendidikan Vokasi UI, budaya melek digital dapat juga dibangun di tengah masyarakat. Sebagai profesional informasi, pustakawan berada di garda depan dalam membangun melek digital. “Pustakawan dapat menjadi jembatan pertukaran pengetahuan dari yang sudah melek digital ataupun yang belum,” ucap Dyah
Masyarakat dengan level melek digital yang bervariasi juga harus dapat difasilitasi oleh pustakawan sehingga mereka dapat saling berbagi dan membangun program kolaboratif. Setiap orang yang memiliki potensi dapat saling belajar dan mengajar sehingga melek digital dapat diperkuat melalui komunitas masyarakat.
Perpustakaan umum ataupun perpustakaan komunitas dapat melakukan penguatan dalam melek digital karena digitalisasi memang membutuhkan budaya baru berupa keterbukaan, kemanfaatan, inklusif, dan merasakan pengalaman menggunakan kemajuan teknologi informasi.
“Artinya, ketika kita berhasil membangun kesadaran melek digital pada level siswa ataupun masyarakat, dampak negatif berupa informasi bohong, hasutan, atau ujaran kebencian di multimedia sekalipun dapat ditekan. Kita boleh berharap informasi negatif seperti itu tak akan mendapat tempat suatu saat nanti,” terangnya.