Makassar: Irawan Yusuf, promotor dr Terawan Agus Putranto saat mempertahankan disertasi di Universitas Hasanudin (Unhas), angkat bicara mengenai kontroversi penggunaan alat Digital Subtraction Angiography (DSA). DSA menjadi perdebatan usai Terawan memanfaatkannya untuk menyembuhkan stroke atau dikenal dengan metode ‘cuci otak’.
Selama ini, menurut mantan Dekan Fakuktas Kedokteran Unhas ini, DSA hanya dipakai untuk mendiagnosis, bukan untuk terapi. Hal ini pula yang disebut sebagai pemicu Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) menjatuhkan sanksi berupa pemecatan kepada Terawan dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
“Terawan memakai DSA sebagai terapi. Ini semua adalah konsekuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat cepat, sehingga batas-batas keilmuan jadi kabur,” kata Irawan saat memberi keterangan di gedung Rektorat Unhas, Jumat, 6 April 2018.
Irawan menekankan, dari sudut pandang ilmiah dan metode penelitian, disertasi S3 mengenai DSA yang dipertahankan Terawan sudah sesuai standar. “Tapi, perlu dicatat, jika mau digunakan harus melalui uji klinik randomisasi, yakni mengacak mana pasiennya Terawan dan pasien terapi biasa. Lalu, lihat hasilnya. Tapi yang harus saya katakan, yang dilakukan Terawan itu baru tahap awal,” lanjut Irawan.
Ia percaya hampir semua terobosan yang ada di dunia kedokteran selalu diawali dengan kontroversi. Jadi memang disesuaikan dengan riset. “Riset itu panjang,” tegasnya.
Hanya, lanjutnya, pada kasus Terawan, metodenya sudah telanjur digunakan. “Secara akademik, kita tidak punya urusan dalam praktik, itu sudah urusan organisasi profesi. Saya ini hanya membimbing Terawan, mencari mekanismenya.”
Kalau toh hasil akhirnya aliran darah menjadi baik, lanjut dia, itu soal lain. “Terawan lantas menggunakannya untuk praktik. Oleh teman-teman berprofesi dokter hal ini lantas dianggap belum sesuai standar. Itulah yang jadi persoalan,” kata Irawan.
Namun, metode Terawan ini kadung mendapat tanggapan positif pasien. Bahkan mereka bertestimoni yang notabene mendukung Terawan. Dukungan itu juga tak bisa dipandang sebelah mata karena pasien juga ditangani dokter ahli saraf selama menjalani terapi.
“Jadi, tetap ada pengobatan konvensional. Teknologi yang digunakan Terawan itu standar. Belum bisa dikatakan sebagai cara pengobatan utama untuk menangani stroke. Dan harus ada penelitian lanjutan,” kata dia.
Dokter kepresidenan
Untuk menyelesaikan kasus ini, Irawan mendorong pemerintah menjadi penengah. Menteri Kesehatan Nila Moeloek diharapkan bisa membangun komunikasi antara IDI dan Terawan.
“Terawan ini bukan dokter biasa. Dia seorang tentara berpangkat mayor jenderal. Di tentara itu ada hierarki. Saat dipanggil, dia tidak bisa langsung datang. Harus lapor panglima. Ini juga harus dipahami.”
“Masalah lain, dia dokter kepresidenan dan direktur utama RSPAD Gatot Subroto. Terus mau dipecat? Kalau Presiden tiba-tiba sakit bagaimana? Kita harus bijaksana dalam hal ini,” kata dia.
Jalan keluarnya, lanjut Irawan, berikan kesempatan Terawan membela diri. Apalagi mekanismenya ada dan secara akademik metode yang dikembangkan Terawan tak bermasalah.
“Saya juga sudah dipanggil dalam sidang majelis kode etik IDI. Saya sampaikan, ada over statement Terawan bahwa metode itu bisa mengobati stroke yang konvensional. Tapi, itu sangat manusiawi,” katanya.
Sebagai promotor, ia mengaku sangat terbuka. “Saya ini bukan pembela Terawan, saya tegaskan bahwa temuan Terawan belum dapat dijadikan pengganti terapi konvensional, tetapi hanya untuk meningkatkan aliran darah ke otak. Sehingga, terapi lain dapat juga dilakukan dengan lebih terencana,” katanya.
Selanjutnya, ia menegaskan, seorang ilmuwan hendaknya rendah hati. Kedua, penelitian saoal DSA ini masih harus dikembangkan. Maish banyak pertanyaan yang harus dijawab.
“Beri peluang untuk penelitian lebih lanjut supaya ada inovasi menghasilkan hal yang berguna,” katanya.
“Kalau orang Eropa atau Amerika yang menemukan (metode) ini, mungkin orang ramai-ramai pakai. Tapi, kalau orang kita, tunggu dulu dan dipertanyakan.” (medcom.id)