Keinginan untuk mendongkrak jumlah publikasi ilmiah karya kaum cendekiawan di Tanah Air di berbagai jurnal internasional perlu didukung. Sudah sewajarnya jika para dosen, apalagi yang sudah profesor dan bergelar doktor, terus aktif berkarya dan menyebarluaskan ide-ide pemikirannya dalam komunitas akademis yang lebih luas.
Seperti diketahui, untuk melecut agar para profesor tergugah aktif menulis karya ilmiah di jurnal internasional, pemerintah telah mengeluarkan Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017. Salah satu pasalnya berisi ancaman penghentian tunjangan kehormatan guru besar jika dalam kurun tiga tahun tak menghasilkan tiga artikel ilmiah di jurnal internasional atau satu artikel di jurnal internasional bereputasi. Saya setuju dengan maksud Kemenristek dan Dikti yang berusaha mendorong profesor dan doktor untuk terus menghasilkan publikasi ilmiah di jurnal internasional sebagai bentuk pertanggungjawaban karier akademiknya.
Tetapi, saya juga setuju dengan Deddy Mulyana dalam artikelnya, ”Hantu Scopus” (Kompas, 21/2), yang menyatakan bahwa menulis artikel di jurnal internasional bukanlah satu-satunya parameter kinerja guru besar. Sebab, menulis buku teks sesungguhnya juga tak kalah sulit dan tak kalah membanggakan.
Bahwa seorang akademisi harus produktif dan menghasilkan karya-karya ilmiah adalah keniscayaan. Saya ingat pesan Prof Soetandyo Soebroto—guru besar, dekan, dan mentor saya ketika meniti karier sebagai dosen di FISIP Universitas Airlangga—bahwa seorang profesor seyogianya tidak menjadi profesor ”pohon pisang”. Artinya, dalam karier akademisnya, seorang profesor hanya menghasilkan satu karya ilmiah, setelah itu terus bertapa tanpa menghasilkan karya lain satu pun juga.
Profesor ”pohon pisang” seperti ini memang sudah seharusnya diingatkan apa yang menjadi marwah kehidupan intelektualnya. Masalahnya, apakah pendekatan yang sekadar mengandalkan ancaman sanksi berupa penghentian tunjangan kehormatan profesor merupakan instrumen yang tepat?
Pilihan pragmatis
Menggugah semangat para profesor untuk kembali pada khitahnya, yakni mengajar, meneliti, dan menghasilkan karya ilmiah yang bermutu, harus diakui bukan hal mudah. Di berbagai perguruan tinggi (PT), tak sedikit profesor yang terjebak dalam aktivitas rutin pembimbingan dan mengajar, atau bahkan lebih memilih menduduki jabatan struktural.
Mereka kemudian tak punya waktu dan kesempatan yang cukup untuk merenung dan menulis artikel di jurnal internasional. Jangankan di jurnal internasional, bahkan menulis di jurnal nasional atau menulis artikel pendek di media massa saja tidak banyak profesor yang mau dan mampu melakukannya. Menulis artikel ilmiah di jurnal internasional adalah sebuah proses panjang, yang biasanya dimulai dari aktivitas melakukan penelitian atau kajian yang serius.
Berbeda dengan menulis artikel di media massa yang bisa seketika dan hanya butuh waktu 1-2 jam. Untuk menghasilkan artikel ilmiah yang layak muat di jurnal internasional, tak pelak, kebaruan data dan ketajaman analisis secara teoretik menjadi tuntutan utama. Di kalangan profesor yang tak pernah melakukan penelitian, kemungkinan dapat menghasilkan artikel berkualitas tentu menjadi sangat kecil. Ini adalah lingkaran setan yang menjadi penyebab kenapa banyak profesor kita tidak mampu menulis di jurnal internasional.
Di berbagai PT, bukan rahasia lagi, ada sebagian profesor yang lebih memilih hanya mengajar atau membimbing mahasiswa program doktoral atau pascasarjana dengan pertimbangan reward yang diperoleh lebih menjanjikan. Seorang profesor yang menurut ketentuan hanya diperkenankan membimbing maksimal 10 mahasiswa, dalam kenyataan, tak sedikit membimbing lebih dari 20 mahasiswa.
Honor sebagai pembimbing disertasi yang nilainya sekitar Rp 3,5 juta per mahasiswa atau mungkin lebih acap kali membuat sebagian profesor lebih memilih melakukan hal itu, sekaligus sebagai pembenar kenapa mereka tidak sempat menulis artikel di jurnal internasional. Selain itu, sudah bukan rahasia lagi, di berbagai PT seorang promotor tak hanya memperoleh kompensasi honor resmi sebagai pembimbing, mereka juga menerima kompensasi lain dari mahasiswa bimbingannya dalam berbagai bentuk.
Sanksi akademik
Melecut semangat para profesor agar mau meneliti dan menulis seyogianya tidak dikaitkan dengan hukuman secara ekonomi. Tunjangan kehormatan bagi guru besar adalah hak yang sudah seharusnya diterima profesor, implikasi dari perjalanan karier yang panjang sebagai pendidik. Besaran tunjangan kehormatan yang hanya sekitar Rp 10 juta per bulan tak bisa dibilang besar bagi seorang dosen yang sudah mengabdi lebih dari 20-30 tahun dalam hidupnya.
Sebagai guru besar yang sudah memenuhi kewajiban menjalankan beban 12 SKS, tidak ada alasan tunjangan itu dicabut atau dihentikan hanya karena tak menulis di jurnal internasional. Dengan sanksi akademis, bukan dengan ancaman penghentian tunjangan kehormatan profesor, kemungkinan untuk melecut semangat agar para profesor tertarik meneliti dan menghasilkan artikel di jurnal internasional hasilnya akan lebih efektif. Di berbagai grup media sosial dan perbincangan di kalangan dosen, kita bisa melihat begitu banyak ketidaksetujuan dan sikap resistensi atas rencana penghentian tunjangan kehormatan bagi guru besar jika mereka tidak menghasilkan artikel ilmiah di jurnal internasional.
Sebelum dikeluarkan Permenristekdikti No 20/2017, pemerintah sebetulnya telah mengeluarkan peraturan yang jika diterapkan secara konsisten akan dapat jadi penstimulasi para guru besar untuk meluangkan waktu menulis artikel ilmiah. Permendikbud No 49/2014 Pasal 26 Ayat 10 (b), misalnya, disebutkan bahwa untuk dosen program doktor dan program doktor terapan diperbolehkan jadi pembimbing utama jika sudah pernah memublikasikan minimal dua karya ilmiah pada jurnal internasional terindeks yang diakui Ditjen Dikti. Kalau aturan ini saja konsisten ditegakkan, maka banyak profesor sebetulnya tak layak jadi promotor, dan otomatis mereka akan kehilangan sumber penghasilan yang selama ini dinikmati dan membuat mereka terlena.
Jadi, tanpa harus mengancamkan sanksi pencabutan tunjangan kehormatan, sebetulnya sudah ada instrumen hukum yang bisa ditegakkan untuk melecut para profesor aktif menulis. Sanksi akademik berupa memudarkan kredibilitas dan hak akademik profesor dalam aktivitas belajar-mengajar, terutama dalam kegiatan pembimbingan disertasi, niscaya lebih elok daripada sanksi ekonomi. Sanksi akademik ini justru akan lebih signifikan dampaknya karena guru besar yang tidak pernah menulis artikel ilmiah otomatis akan jadi pergunjingan dan kehilangan sebagian reputasinya. Bukan tak mungkin dosen muda justru lebih bereputasi dan dihargai mahasiswa karena produktif berkarya daripada guru besar yang hanya menjadi profesor ”pohon pisang”.
BAGONG SUYANTO Dosen FISIP Universitas Airlangga (Unair)