News

Produktivitas Jurnal Ilmiah Harus Berbasis Kultur Riset

JAKARTA – Kebijakan menjatuhkan sanksi pencabutan tunjangan guru besar untuk mendorong produktivitas jurnal ilmiah diragukan efektivitasnya. Pendekatan sanksi hanya akan berorientasi pada kuantitas dan berpotensi mengabaikan sisi kualitas jurnal ilmiah itu sendiri. Pengamat Pendidikan Tinggi dari Universitas Trilogi, Asep Saefuddin, mengatakan persoalan produktivitas riset tidak boleh dipandang hanya dari sisi kuantitas. Lebih jauh lagi, pemerintah harus membuat kebijakan yang dapat menyuburkan tumbuhnya budaya riset di perguruan tinggi. “Jika membuat jurnal hanya untuk mengejar agar tidak dicabut tunjangannya, kualitasnya akan berbeda.

Produktivitas harus muncul karena kultur riset yang terbangun,” kata Asep dalam sebuah diskusi pendidikan, di Jakarta, Selasa (21/2). Persoalan produktivitas jurnal ilmiah, menurut Asep, bukan hanya sebatas menghitung output saja. Dengan demikian, pendekatan reward dan punishment seperti dicabutnya tunjangan kehormatan guru besar itu harus dibarengi dengan kebijakan yang dapat menumbuhkan budaya riset dan meneliti di perguruan tinggi. “Yang harus dibangun itu ekosistem masyarakat ilmiah di kampus dalam memanfaatkan sumber ilmu. Jurnal itu bukan tujuan, tapi alat,” tegas Rektor Universitas Trilogi ini.

Solusinya, menurut Asep, adalah dengan memperkecil kesenjangan kualitas antar-kampus di Indonesia. Kampus-kampus dengan kualitas minim, kata dia, akan sulit untuk menumbuhkan budaya meneliti. “Mereka lebih banyak tugas mengajarnya. Kalau sudah banyak mengajar, tidak ada waktu untuk meneliti,” jelasnya. Riset-riset juga harus diwadahi dalam sebuah sistem jurnal yang baik. “Diskusi, seminar, bedah buku, diskusi persoalan bangsa, itu bagian dari membangun budaya riset di kampus,” imbuh Asep.

Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menerbitkan Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Permenristekdikti ini merupakan payung hukum bagi upaya pemerintah mendorong produktivitas dosen. Dalam Pasal 4 Permenristekdikti No 20 Tahun 2017 disebutkan bahwa untuk Lektor Kepala harus menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal nasional terakreditasi atau paling sedikit satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional dalam kurun waktu tiga tahun.

Pasal 5 menyebutkan bahwa tunjangan profesi bagi dosen dihentikan sementara apabila menduduki jabatan struktural, diangkat sebagai pejabat negara, tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 3 dan 4, khusus bagi lektor kepala.

Tiga Fungsi

Seperti diketahui, setiap dosen maupun guru besar memiliki tiga fungsi pokok yang tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pengembangan keilmuan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. “Salah satunya adalah menghasilkan karya ilmiah dan mereproduksi pengetahuan,” kata Dirjen Sumber Daya Iptek dan Pendidikan Tinggi (SDID), Ali Ghufron.

Namun faktanya, produktivitas jurnal ilmiah dosen di Indonesia masih rendah. Bahkan, ketika seorang menjadi profesor justru produktivitasnya mengalami penurunan, hanya karena biasanya para profesor juga menduduki jabatan struktural di kampus. “Selain itu juga para profesor kita lebih banyak mengajar dari pada meneliti, publikasi dan menghasilkan inovasi,” sebut Ghufron. Sekretaris Dirjen SDID, John Hendri, menambahkan bahwa untuk memastikan Permenristekdikti berjalan optimal diperlukan adanya petunjuk teknis (juknis). “Ini sekaligus menjawab keresahan yang banyak timbul dari terbitnya Permendikbud ini,” ujar John Hendri. (IFR/Koran Jakarta)

Join The Discussion