News

Problematika Pilkada Serentak

JAKARTA – Selama kurang lebih 1.300 kali rakyat Indonesia melakukan Pilkada langsung selama periode 2005-2015. Namun kenyataanya, dalam kurun waktu satu dasawarsa tersebut pilkada yang diharapkan positif dan memberikan insentif serta kontribusi signifikan bagi peningkatan pelayanan publik masih jauh dari harapan.

Pada hakikatnya pilkada adalah mekanisme tertentu yang digunakan untuk mengubah suara menjadi dukungan konkret Kepala Daerah. Permasalahan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) itu dikupas tuntas dalam FDA (Forum Diskusi Aktual) yang diadakan oleh Puslitbang Otonomi Daerah, Politik, dan Pemerintahan Umum BPP Kemendagri pada Selasa (12/04) di Aula BPP. Dalam FDA tersebut hadir R. Siti Zuhro sebagai pembicara dari LIPI.

Menurut Zuhro dalam pilkada serentak, setidaknya ada tiga masalah desain peraturan kepemiluan selama ini. Pertama, skema atau format pemilu (baik Pileg, Pilpres, dan Pilkada) bukan hanya tidak menjanjikan melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi, tetapi juga tidak melembagakan pemerintahan yang efektif dan sinergis. “Format pemilu yang berlaku cenderung melembagakan pemerintahan yang tidak terkoreksi. Jangan heran jika politik transaksional masih kental mewarnai relasi kekuasaan,” imbuhnya.

Kedua, format Pilpres dan Pilkada tidak menjanjikan tampilnya presiden dan kepala daerah yang kapabel sekaligus akuntabel. “Orientasi dan arah kompetisi masih berputar pada upaya popularitas dan elektabilitas,” terangnya.

Lalu yang ketiga, Zuhro juga mengatakan, penetapan calon dan mekanisme kandidat masih secara oligarkis oleh ketua umum ataupun pimpinan parpol. Sehingga tidak adanya kandidat yang memenuhi syarat mewakili suara rakyat. “Semestinya ini yang penting. Sehebat dan se-komprehensif apa pun UU Pemilu, sebaiknya dimulai dari partai politik yang melakukan kaderasasi yang baik bagi calon pasangannya,” tutupnya. (IFR)

Join The Discussion