Sering ada anggapan bila seseorang dipindahkan ke bagian penelitian dan pengembangan dianggap dibuang, diasingkan, atau dimasukkan ke dalam kotak. Ini menjadi persepsi umum di kalangan pejabat aparatur sipil negara (ASN) baik kementerian ataupun lembaga. Mereka berpersepsi, badan penelitian dan pengembangan (balitbang) merupakan tempat “pembuangan” ASN. Jika seseorang dialihtugaskan ke balitbang, seolah-olah mendapat hukuman dari pimpinan. Sekali lagi, ini hanya persepsi.
Kementerian Dalam Negeri juga memiliki balitbang yang terletak di Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat. Permendagri Nomor 43 Tahun 2015 mengatur secara jelas tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Balitbang Kemendagri, di antaranya melakukan penelitian dan pengembangan di bidang pemerintahan dalam negeri. Tugas ini tak bisa dipandang sebelah mata. Sesungguhnya, setiap kebijakan pemerintah sebelum ditetapkan, apalagi untuk dikonsumsi publik, lebih dulu dilakukan kajian ilmiah dan studi lapangan, dan ini dikerjakan balitbang. Jadi, balitbang ini tugas yang strategis.
Tugas balitbang antara lain menyiapkan penyusunan kebijakan teknis, program, dan anggaran litbang bidang pemerintahan dalam negeri. Kemudian, sebagai pelaksanaan litbang bidang pemerintahan dalam negeri melaksanakan pengajian kebijakan, pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Balitbang juga memfasilitasi inovasi daerah, koordinasi, dan sinkronisasi pelaksanaan litbang di 34 pemerintahan provinsi. Ini bukan tugas sepele.
Selain itu, melakukan perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasi bidang litbang lingkungan Kemendagri. Ada juga melakukan koordinasi kelitbangan di jajaran pemda. Agar kebijakan yang dilahirkan Kemendagri sesuai dengan fakta dan kebutuhan sangat diperlukan studi lapangan. Inilah letak lain strategisnya balitbang.
Pesan penting Permendagri 43/2015, setiap kebijakan yang dikeluarkan Kemendagri, lebih dulu melalui kajian dan studi lapangan oleh balitbang. Nah, siapa bilang lembaga ini cuma tempat buangan? Tugasnya berat karena tupoksi balitbang harus dijalankan secara tepat. Maka, pejabat struktural maupun fungsional peneliti di lembaga ini tak pernah menganggur. Sekarang ini, balitbang sangat memerlukan SDM mumpuni di bidang penelitian karena mereka kebanjiran undangan dari komponen terkait maupun pemerintah daerah.
Untuk itu, persepsi negatif lembaga ini perlu dikikis karena berpengaruh pada kinerja ASN. Setidaknya, hal itu diketahui dari program kelitbangan yang dilakukan dari tahun ke tahun. Memang nyaris tak pernah ada publikasi hasil penelitian litbang kemendagri baik internal maupun media massa. Apalagi melalui jurnal ilmiah. Karya para penelitinya tak dikenal orang. Akibatnya mereka hanya terkungkung kegiatan rutin. Yang penting anggaran sudah tercapai dan serapannya bagus.
Seorang eselon II kemendagri mengakui, selama lebih 20 tahun berkarier, belum pernah membaca hasil kajian balitbang. Hasil kajian balitbang sekadar pajangan perpustakaan, hiasan di lemari arsip. Harusnya, kajian itu menjadi landasan pembuatan kebijakan. Faktor inilah yang menjadikan balitbang lesu darah, sehingga dipersepsikan sulit berkembang.
Kajian dan studi lapangan balitbang kemendagri dapat pula menutupi kekosongan hukum dalam penyusunan perundang-undangan, khususnya produk hukum daerah berupa perda. UU No 12/2011 tentang Penyusunan Perundangan tegas memerintahkan dan mewajibkan setiap produk hukum dilengkapi dengan naskah akademis (NA). Perlu diketahui, NA adalah naskah hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ini tugas strategis balitbang kemendagri.
Saldi Isra dalam karyanya Urgensi Naskah Akademis dalam Penyusunan Perundangan menyitir pendapat An Den Robert Siedman dalam bukunya Legislative Drafting For Democratie Social Change (2001). Katanya, Reaserch and The Concept Paper menjadi kebutuhan tidak terelakkan.
Jika sebuah perda dibuat atas dasar kajian ilmiah dan studi lapangan objektif, produk tersebut tidak menimbulkan masalah, apalagi dipermasalahkan Mahkamah Agung. PP16/2010 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD mengatur raperda yang diajukan pemda harus dilengkapi NA. Sedang UU No 12 Tahun 2011 dan Perpres 87/2015 tentang Pembentukan Perundang-undangan pun hampir sama.
Suatu produk hukum perlu dilengkapi NA. Formatnya sesuai dengan lampiran UU No 12/2011. Sifatnya sangat umum untuk penyusunan perundang-undangan baik UU, peraturan pemerintah (PP), ataupun perda. Ruang kosong ini peluang bagus bagi balitbang kemendagri melakukan kajian sekaligus menyiapkan rumusan kebijakan. Bentuk keluarannya bisa permendagri, perpres, atau PP.
Selama ini, praktik penyusunan NA untuk perda provinsi dan kabupaten/kota, tanpa monitoring atau evaluasi oleh lembaga yang lebih tinggi. Balitbang kemendagri belum sampai pada tahap itu dan belum juga memiliki standar NA. Akibatnya, bentuk dan isi NA berbeda-beda. Jadinya, NA suatu perda tidak lebih sebagai suatu pelengkap alias formalitas belaka. Kadang, yang penting sudah ada NA. Kalau sudah seperti itu, jangan lagi bertanya kualitas 60.000-an perda seluruh Tanah Air. Wajar jika kemudian tak kurang dari 3.134 perda harus dibatalkan.
Dalam produk hukum yang mengatur pedoman penyusunan NA, perda tersebut sebaiknya juga perlu memuat legalisasi atau forum konsultasi penyusunannya. Misalnya, NA perda kabupaten/kota dikonsultasikan lebih dulu dengan balitbang provinsi. Kemudian, perda provinsi dikonsultasikan ke balitbang kemendagri. Tujuannya agar terlahir perda berbobot.
Upaya ini juga meminimalkan NA yang asal-asalan. Dampaknya, memang pekerjaan balitbang menjadi lebih numpuk. Tetapi ini dapat meningkatkan kualitas ASN balitbang pusat maupun daerah. Dengan banyaknya kegiatan ilmiah berbobot di balitbang kemendagri otomatis mematahkan pameo, seolah-olah balitbang sulit berkembang.
Meniti Karier
Orang lupa, dari balitbang banyak pejabat yang meniti karier sampai puncak. Contoh, Dr I Made Suwandi yang kini komisioner KASN, sebelumnya menduduki Dirjen Pemerintahan Umum Kemendagri. Siapa pula tak kenal Dr Yuswandi A Tumenggung, mantan Sekjen Kemendagri. Mereka meniti karier dari Jalan Kramat. Jadi, Jalan Kramat bukanlah tempat keramat, bukan pula tempat buangan ASN kemendagri, tapi justru menjadi pusat kajian tersohor.
Sedikit tentang Jl Kramat Raya, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Sepanjang Jl Kramat ini berjejer ratusan bangunan. Ada sekolah, rumah, toko, perkantoran swasta, BUMN, dan gedung organisasi keagamaan. Sudah pasti ada gedung pemerintahan. Di sini termasuk markas balitbang Kementerian Dalam Negeri tadi.
Tentang Jalan Kramat Raya, jauh sebelum masa perjuangan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada 28 Oktober 1928, jalan ini menjadi popular karena melalui Sidang Pemuda dari seluruh suku Indonesia tercetuslah Sumpah Pemuda. Gedung tersebut telah dijadikan cagar budaya, Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya Nomor 106.
Jalan Kramat letaknya strategis di Ibu Kota dan mudah dijangkau. Ketik saja Balitbang Kemendagri dalam mesin pencari akan muncul Jalan Kramat Raya Nomor 132, RT 9 Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat.
Kembali soal jalan yang satu ini. Seperti tadi, kalau ada pejabat yang ditempatkan di balitbang Jalan Kramat Raya 132 ini sering dipandang sebelah mata. Malahan dia dipelesetkan sebagai orang yang dikeramatkan (karena ditempatkan di Jalan Kramat). Stigma lain yang menjadi momok kalangan ASN, seseorang yang ditempatkan di balitbang telah menempati jabatan buangan.
Lebih parah lagi balitbang dipanjangkan sebagai bakal sulit berkembang. Namun kenyataannya, balitbang semakin stragegis dan banyak “lulusannya” tetap mampu berkarier gemilang seperti dua contoh yang telah disebutkan tadi.
*Sukaca, SH, MH, MSI
Penulis Pegawai Kemendagri