Pembangunan PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, masih terus menimbulkan polemik. Setelah beberapa bulan lalu pembangunan PLTA berkapasitas 510 Mega Watt itu ditolak para penggiat lingkungan hidup.
MEDAN, SUMATERA UTARA (VOA) —
Pakar geofisika Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan PLTA Batang Toru berada di zona patahan dan menyerukan dilakukannya penelitian detail agar pembangunan tersebut tak menimbulkan masalah besar.
Pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut) terus menuai kritik. Perizinan lingkungan pembangunan PLTA Batang Toru digugat oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut karena dookumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) proyek itu dinilai belum memiliki kajian yang lengkap.
Persoalan pembangunan proyek tersebut bukan hanya sampai di situ. Menurut ahli geofisika, Teuku Abdullah Sanny, PLTA yang akan dibangun sepanjang 20 kilometer di tiga kecamatan yakni Batang Toru, Marancar, dan Sipirok dengan kapasitas 510 Mega Watt (MW) itu berada di daerah zona merah patahan atau rawan gempa.
Bendungan yang menjadi sumber energi tersebut juga menjadi momok menakutkan, meski tidak berada tepat di patahan. Namun vibrasi atau getaran gempa bisa membahayakan bendungan. Untuk itu dibutuhkan penelitian detail guna meyakinkan pembangunan proyek PLTA Batang Toru bisa dilanjutkan atau tidak bahkan dipindahkan.
“Di situ memang tidak ada patahan.Tapi dekat situ ada patahan sekitar 5 kilometer. Yang harus diperhitungkan bagaimana pengaruh patahan atau vibrasi terhadap bendungan itu dan perlu dilakukan penelitian detail. Artinya keamanan bagaimana sudah diperhitungkan dengan baik. Dalam laporan itu tidak ada,” ujar Abdullah Sanny di Medan, Senin (7/1).
Berada di zona merah membuat proyek PLTA Batang Toru bisa membahayakan. Kata Abdullah, PT Hydro Energy Sumatra Utara yang merupakan pengembang PLTA Batang Toru harus memasukkan AMDAL soal geologi dan geofisika. Apalagi Indonesia merupakan negara yang berada di ring of fire, dan rawan gempa.
“AMDAL harus dimasukan soal geologi dan geofisika wajib. Apalagi negara kita rawan gempa, demi keamanan dari bendungan itu dan kelanjutan investasi. Kalau tidak itu akan menimbulkan problem besar,” tambah Abdullah Sanny.
Koordinator Kuasa Hukum WALHI Sumut, Golfrid Siregar juga mempertanyakan dokumen AMDAL pembangunan PLTA Batang Toru. WALHI Sumut menilai dalam dokumen itu hanya dikaji masalah komponen lingkungan hidupnya hanya fisika dan kimia. Tapi tidak dengan masalah geologi dan geofisika.
“Kenapa komponen yang dikaji fisika dan kimia. Tapi geologi dan geofisika tidak dimasukan dalam substansi dokumen yang ada di dalam AMDAL. Dampak yang akan timbul itu ada. Dampak terhadap lingkungan, dan masyarakat. Makanya WALHI menolak pembangunan itu,” tandasnya.
Pembangunan PLTA Batang Toru juga mengancam spesies langka yakni orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) yang hanya berjumlah sekitar 800 ekor di kawasan proyek tersebut.(voaindonesia.com)