News

Pertama Kalinya, Peneliti Sukses Tumbuhkan Telinga di Kepala Manusia

JAKARTA – Berkat bantuan printer 3D dan sel buatan, para peneliti di China sukses menumbuhkan telinga baru bagi lima orang anak yang menderita mikrotia atau kelainan kongenital bentuk telinga yang kurang sempurna.

Dilansir CNN, dalam studi yang dipublikasikan di jurnal EBioMedicine, para peneliti itu berhasil menumbuhkan telinga dengan menggunakan sel tulang rawan bernama kondrosit.

Mereka mengambil sel tulang rawan tersebut dari telinga pasien mikrotia dan menggunakannya untuk menumbuhkan tulang rawan berbentuk telinga dengan bantuan printer 3D.

Kemudian para peneliti melakukan pemindahan telinga baru tersebut ke pasien anak tersebut dan melakukan operasi rekonstruksi telinga. “Kami telah sukses mendesain, merangkai, dan meregenerasi bagian spesifik dari telinga pasien,” tulis peneliti dalam studi mereka.

“Namun diperlukan tindakan lebih lanjut agar praktik prototipe ini menjadi praktik klinis yang rutin dilakukan,” jelas peneliti.

Temuan baru para peneliti ini dapat membantu para penderita mikrotia yang lahir dengan struktur kuping yang abnormal, memiliki bentuk kuping yang normal. Temuan ini juga diharapkan dapat membantu pendengaran para penderita mikrotia itu. Sebab, terkadang mikrotia juga dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran pada penderitanya.

Kondisi mikrotia diperkirakan terjadi pada satu dari 5 ribu kelahiran. Bahkan ditemukan bahwa mikrotia lebih banyak terjadi pada etnik Hispanik, Asia, Amerika asli dan juga Amerika Selatan.
Biasanya salah satu cara mengobati kelainan ini adalah dengan melakukan operasi rekonstruksi kuping dengan menggunakan kuping plastik atau menggunakan tulang rawan rusuk untuk membuat kuping baru. “Membentuk tulang rawan untuk rekonstruksi mikrotia telah menjadi tujuan dari komunitas rekayasa jaringan selama lebih dari dua dekade,” ujar Lawrence Bonassar, profesor rekayasa biomedis dan teknik mesin dirgantara di Cornell University, New York, AS.
 
Bonassar tidak terlibat dalam studi terbaru tersebut, tetapi dirinya pernah melakukan studi atas penggunaan telinga buatan printer 3D bagi pasien mikrotia. “Temuan ini menunjukkan bahwa dalam waktu dekat penggunaan rekayasa jaringan untuk rekonstruksi telinga dan jaringan tulang rawan lainnya bisa digunakan secara klinis,” kata Bonassar.
 
“Nilai estetika dari jaringan yang dibuat bisa dibilang sebanding dengan prosedur klinis yang ada tersedia sekarang.”
 
Bukan Konsep Baru
Sebenarnya penggunaan teknik ini telah ada sejak dulu. Pada 1997, para peneliti telah menumbuhkan jaringan tulang rawan buatan dalam bentuk telinga dan lalu mengimplan telinga buatan tersebut ke sebuah tikus. “Ahli bedah telah mencoba ide mengangkat jaringan tulang rawan pasien dan menjadikan jaringan tersebut menjadi sebuah komponen sel individu, lalu mengembangkan komponen sel individu tersebut. Dengan kata lain, membuat sel terpecah agar kita bisa memiliki lebih banyak sel lagi untuk membuat sebuah bagian baru,” kata Tessa Hadlock, kepala bedah plastik wajah dan rekonstruksi di Massachusetts Eye and Ear di Boston, AS.
 
“Telah cukup lama, kami mencoba untuk mengambil sel dari orang-orang dan mengembangkan sel tersebut pada polimer untuk menumbuhkan struktur baru,” tambahnya.
 
Ia juga menjelaskan sebenarnya ide ini tengah menjadi bahan studi di AS. “Jadi konsep ini tidak baru.”
Hadlock juga menjelaskan bahwa hal baru yang diberikan studi ini adalah hasil yang memuaskan atas telinga baru dari lima pasien mereka.
 
Memang para peneliti di studi terbaru tersebut mendeskripsikan hasil yang mereka dapat sebagai sebuah terobosan dalam bidang aplikasi klinis tulang rawan berbentuk telinga. Tapi cara ini menurut Hadlock tetap memiliki beberapa kekurangan.
 
Menurutnya ada bahaya di balik penggunaan sel untuk membuat suatu jaringan baru. Salah satunya adalah risiko kanker. “Ketika Anda merangsang sel untuk saling memisahkan diri, Anda memiliki risiko membuat sel tersebut untuk tumbuh di luar batas. Itu sama saja dengan mengatakan bahwa Anda dapat membuat sebuah jenis kanker yang pertumbuhannya tidak dapat dikontrol,” kata Hadlock.
 
Ia menambahkan, penggunaan sel tulang rawan dari pasien anak tersebut juga memiliki bahaya tersendiri. “Mereka mungkin berbeda dengan sel tulang rawan yang sehat,” ujar Hadlock. “Kita tidak memiliki informasi yang cukup mengenai hal ini.”

Masih Banyak Tantangan
Masih diperlukan riset lebih banyak lagi sebelum studi ini dapat digunakan sebagai metode baru pada prosedur klinis.

Selain itu masih ada permasalahan pada biaya yang diperkirakan akan sangat mahal.
“Tantangan utama dari penggunaan dari cara ini untuk mikrotia adalah membuat dan mengawasinya (telinga),” kata Bonassar.

“Metode untuk membuat ini (telinga) cukup rumit, dengan menggabungkan tiga biomaterial berbeda yang kemudian dikombinasikan menjadi sebuah rangka yang diberikan sel, lalu dikembangkan selama tiga bulan sebelum diimplan untuk memastikan distribusi sel di seluruh bagiannya.”

Meski demikian, temuan ini memberikan sebuah harapan bagi para penderita mikrotia untuk bisa memiliki kehidupan normal. (IFR/Kumparan.com)

Join The Discussion