News

Persoalan di Balik Rendahnya Peringkat Kampus-Kampus Indonesia

tirto.id – QS World University Ranking pada awal Juni kembali mempublikasikan peringkat tahunan universitas dunia untuk periode 2018-2019. Posisi perguruan tinggi Indonesia tak juga membaik. Peringkat Universitas Indonesia (UI), yang masuk 10 besar universitas terbaik di ASEAN, bahkan menurun.

Pada peringkat QS World University Ranking tahun ini UI menduduki posisi 292 dari 1.233 Perguruan Tinggi di 151 negara di dunia. Angka itu merosot dibandingkan pada periode 2017-2018, yang berada pada 277. Universitas lainnya bahkan masih jauh tertinggal di bawahnya lagi.

Namun demikian, Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Ali Ghufron Mukti mengklaim bahwa kualitas perguruan tinggi di tanah air sudah membaik dalam tiga tahun terakhir. Ia mencontohkan Universitas Gajah Mada (UGM) yang menempati rangking 391 pada QS World University Ranking tahun ini.

“Contohnya UGM, tiga tahun terakhir ranking 501, kemudian menjadi 402, dan sekarang terbaru tahun 2018 untuk QS World University Ranking menjadi 391,” kata Ali kepada Tirto, Minggu (24/6/2018).

Ke depannya, kata Ali, pemerintah memiliki langkah-langkah khusus untuk memfasilitasi sejumlah universitas dalam negeri agar dapat lebih unggul dibandingkan negara lain di ASEAN, bahkan dunia. Pihaknya akan memfasilitasi perguruan tinggi terpilih agar masuk 500 besar dunia. Sayangnya, ia tidak menjelaskan secara detail langkah-langkah yang dimaksud.

Berkaca pada penilaian QS World University Ranking, setidaknya ada enam indikator penting dalam pemeringkatan yang harus diperhatikan, yakni: reputasi akademik, reputasi lulusan, rasio fakultas dan mahasiswa, kutipan jurnal ilmiah, fakultas internasional, dan mahasiswa internasional.

Selama ini, pemeringkatan QS World University Ranking juga digunakan oleh Kemenristekdikti sebagai salah satu tolok ukur universitas di Indonesia menuju universitas kelas dunia. Artinya, jika pemerintah serius ingin mendorong agar perguruan tinggi Indonesia masuk dalam 500 besar dunia, sejumlah indikator tersebut mesti diperhatikan.

Hal itu diakui oleh Rektor Universitas Indonesia, Muhammad Anis, seperti dilansir Antara, pada 7 Juni lalu. Anis mengatakan, salah satu upaya yang UI lakukan adalah dengan pemenuhan indikator yang digunakan oleh lembaga pemeringkatan bergengsi dunia itu.

“Kami gencar melakukan peningkatan kualitas serta kuantitas riset dan pengabdian masyarakat. Selain itu, kami ingin meningkatkan peran serta sivitas akademika UI di dalam menjawab permasalahan masyarakat melalui penelitian mutakhir dan inovatif,” kata Anis menanggapi publikasi QS World University Ranking yang menempatkan UI di 300 besar perguruan tinggi dunia.

Perguruan Tinggi Indonesia Masih Tertinggal

Saat ini, perguruan tinggi Indonesia masih kalah jauh dari negara-negara ASEAN lainnya. Meskipun Indonesia melalui Universitas Indonesia menempati peringkat ke-9 dari 10 universitas terbaik di ASEAN, peringkatnya menurut QS World University Ranking masih kalah jauh dibandingkan negara tetangga seperti National University of Singapore (NUS), Singapura (urutan 11 dunia). NUS ini sekaligus menjadi universitas terbaik pertama di ASEAN.

Sementara peringkat kedua ditempati Nanyang Technological University (NTU), Singapura (urutan 12 dunia). Selanjutnya secara berturut-turut adalah Universiti Malaya (UM), Malaysia (urutan 87 dunia); Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Malaysia (urutan 184 dunia); Universiti Putra Malaysia (UPM), Malaysia (urutan 202 dunia), Universiti Sains Malaysia (USM), Malaysia (urutan 207 dunia); Universiti Teknologi Malaysia, Malaysia (urutan 228 dunia); Chulalongkorn University, Thailand (urutan 271 dunia).

Universitas Indonesia (UI), yang dalam daftar QS World University Ranking itu di urutan 292, menempati peringkat ke-9 dari 10 universitas terbaik di ASEAN. Di peringkat sepuluh adalah Universiti Brunei Darussalam (UBD), Brunei (urutan 323 dunia).

Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Halili Hasan mengatakan, perguruan tinggi di Indonesia memang sulit bersaing dengan perguruan tinggi ASEAN lainnya. Universitas-universitas perlu pembenahan agar memenuhi sejumlah indikator yang diterapkan QS World University Ranking.

“Kalau melihat kompetitor tradisional di QS memang agak berat. Ada NTU, UM, UKM, itu universitas yang secara tradisional memang kuat dibandingkan kita di beberapa variabel saya kira,” kata Halili kepada Tirto, Minggu (24/6/2018).

Menurutnya, hal paling pokok yang perlu dibenahi adalah kinerja manajemen universitas dan para intelektualnya. Halili juga menyoroti anggaran perguruan tinggi dan riset yang dinilai masih rendah. Selain itu, perguruan tinggi di Indonesia masih terjebak dalam konsep disiplin keilmuan yang linier. Menurut dia, masih ada ego sektoral keilmuan, satu sama lain masih sulit untuk disinergikan.

“Satu dekade ini saya pikir universitas kita dicekoki dengan doktrin linieritas untuk S1, S2. Kalau S1 pendidikan murni, S2 harus pendidikan murni, kalau enggak linier nanti dipersoalkan. Itu problematik. Harusnya kita ini inter dan multi disiplin. Semakin inter, multidisipliner itu semakin baik,” kata Halili.

Menurut dia, jika level pengembangan sumber daya manusia seperti dosen hanya terpaku pada linieritas disiplin ilmu, sumber daya manusia yang dihasilkan, yaitu mahasiswanya, akan serupa pola pikirnya.

“Ketika bertemu dengan pihak dari disiplin yang berbeda, mereka tergagap-gagap. Dipertemukan dengan interaksi lulusan perguruan tinggi asing, misalnya, kemudian mereka seperti katak dalam tempurung saja. Merasa inferior,” kata Halili.

Langkah perubahan juga harus diawali dengan pembenahan politik pendidikan dalam negeri seperti regulasi. “Regulasi harus diperbaiki dan mendorong universitas itu menuju pada tata kelola perguruan tinggi yang baik. Politik pendidikan perguruan tinggi di kita yang memegang adalah Kemenristekdikti,” kata Halili.

Menurutnya, perlu juga kebijakan yang mendorong kemitraan antara universitas besar dan kecil, agar standar kualitas universitas yang lebih kecil dapat meningkat. Namun, lagi-lagihal ini terancam dengan tingginya ego sektoral.

“Agak sulit untuk menemukan universitas besar di Indonesia yang mau membangun linked dengan kampus yang kecil. Kalau tidak terbiasa membangun linked, maka semua akan stagnan yang bagus hanya kampus itu-itu saja,” terang Halili.

Join The Discussion