News

Perlu Diskusi Keberadaan Post-Truth dalam Ilmu Komunikasi

JAKARTA – Diperlukan wadah dan wacana untuk mendiskusikan secara akademis dan sainstifik keberadaan post-truth dalam ilmu komunikasi. Pasalnya saat ini masih banyak akademisi, ilmuwan, dan filsuf dikejutkan ide post-truth termasuk ketika temuan ilmiah diabaikan pemangku kepentingan dan kekuasaan termasuk profesional dan praktisi.

Hal itu disampaikan oleh Irwansyah Ketua Panitia Pelaksana Konferensi Internasional Komunikasi Post-Truth: Research and Governance sekaligus Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UI dalam opininya di Media Indonesia, Edisi Kamis (6/7).

“Kehadiran post-truth perlu dijadikan sebagai pengingat masyarakat tentang misi sosial ilmu pengetahuan, Dengan demikian, akademisi, ilmuwan, dan filsuf dapat selalu menegaskan kebajikan dari intelektualitas berdasarkan model: berpikir kritis, rasa ingin tahu yang berkelanjutan, dan merevisi keyakinan berdasarkan pembuktian termasuk pentingnya kejujuran.” kata Irwansyah.

‘POST-TRUTH’ atau pascakebenaran merupakan kata yang dinobatkan Oxford Dictionaries sebagai ‘Word of the Year‘ pada 2016. Dasar pemilihan kata ini ialah peristiwa ‘Brexit referendum’ di Inggris dan ‘presidential election’ di AS. Kedua peristiwa ini melakukan kampanye yang memperlihatkan melemahnya fakta objektif dalam memengaruhi dan membentuk opini publik.

“Kata ‘post-truth‘ berkembang luas tidak hanya untuk menggambarkan penegasan terhadap hal-hal tertentu, tetapi juga untuk menggambarkan secara umum keadaan pada zaman sekarang. Dengan demikian, post-truth yang dalam ranah politik dikenal dengan post-truth politics kemudian lebih luas dengan konteks ‘post-truth era,” ucapnya.

Menurut Irwansyah dalam konteks keindonesiaan, perdebatan dan pertentangan dalam wacana post-truth khususnya ilmu komunikasi menjadi penting. Hal tersebut merujuk beberapa faktor. Pertama, riset di AS telah menunjukkan orang AS dalam kesehariannya pernah berbohong sehingga dalam teori komunikasi dikenal cognitive dissonance yang memunculkan white lie (kebohongan yang disampaikan secara baik/ kebohongan putih).

Kedua, aktivitas komunikasi secara realitas dalam politik melahirkan ‘pembohongan publik’ saat politisi berbohong tanpa kecaman. Ketiga, media sosial yang digunakan di RI sebagai bentuk layanan ‘over the top (OTT)’ menjadikan segala jenis konten di internet dipertanyakan kredibilitas, objektivitas, integritas, kepercayaan, dan orisinalitasnya, termasuk kehadiran situs-situs dan akun avatar robot yang mem-buzz berita dan pesan bohong atau negatif. (MSR/MEDIA INDONESIA)

Join The Discussion