JAKARTA — Perubahan sosio kultur masyarakat dan kemudahan mengakses pendidikan tinggi yang semakin terbuka mendorong semakin banyak perempuan Indonesia yang terjun dan berkarya dalam dunia ilmu pengetahuan melalui profesi peneliti. Selain sama profesional dengan laki-laki peneliti, perempuan peneliti diakui memiliki kelebihan karena ketelitian, ketekunan, dan keuletannya
”Perempuan peneliti Indonesia sama profesional dengan pria peneliti. Bahkan, perempuan peneliti lebih tekun dan teliti. Ada banyak perempuan peneliti Indonesia yang mendapat penghargaan, baik nasional maupun internasional,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Subiyanto, Kamis (19/4/2018), di Jakarta.
Di LIPI, jumlah perempuan peneliti tidak terpaut jauh dengan laki-laki. Saat ini dari total 1.711 peneliti di LIPI, sebanyak 936 laki-laki dan 775 perempuan (lebih dari 45 persen) yang tersebar di 147 bidang ilmu dengan 284 disiplin ilmu. Jumlah perempuan peneliti di LIPI jauh lebih tinggi dibandingkan persentase rata-rata perempuan peneliti di dunia yang menurut data UNESCO sekitar 30 persen.
”Di LIPI tidak ada aturan bidang ilmu tertentu hanya menerima laki-laki atau perempuan. Seleksi berlangsung secara alami,” ujar Bambang.
Hanya saja, ada bidang ilmu tertentu seperti mekatronika yang jarang mendapat perempuan peneliti. Bukan karena bidang tersebut tidak membuka peluang bagi perempuan, tetapi jarang ada perempuan yang melamar di bidang tersebut.
Di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi, bahkan sekitar 60 persen penelitinya adalah perempuan, pernah pula mencapai lebih dari 70 persen. Dari 10 topik utama penelitian di Lembaga Eijkman, tujuh di antaranya peneliti utamanya perempuan.
Deputi Direktur Lembaga Eijkman Herawati Supolo Sudoyo mengatakan, dominasi perempuan ini kerap mengherankan institusi sejenis di luar negeri. ”Pernah kami mau menjalin kerja sama dengan Australia, mereka kirim tim khusus untuk memastikan tidak ada bias jender di lembaga kami. Tentu kami lolos, bahkan mereka heran karena jumlah perempuan penelitinya lebih banyak,” ujarnya.
MA Yunita T Winarto, Guru Besar Antropologi FISIP Universitas Indonesia, mengatakan, tidak ada perbedaan dalam hal kemampuan, kegigihan, kesempatan, kapasitas, dan pelaksanaan peran perempuan peneliti, baik di Indonesia maupun mancanegara. ”Jangankan dengan perempuan peneliti di mancanegara, dengan laki-laki peneliti pun tentunya tidak ada perbedaan,” ujarnya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mengungkapkan, peluang perempuan peneliti terbuka karena kemudahan mengakses pendidikan luar negeri dengan banyaknya tawaran beasiswa untuk menempuh pendidikan di luar negeri.
”Sekarang tinggal bagaimana perempuan bangkit dengan motivasi tinggi dan keyakinan kuat untuk menangkap peluang tersebut,” ujar Yohana.
Peneliti pelopor
Kontribusi perempuan peneliti sangat besar melalui karya-karya penelitian yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan manusia. Selain berkecimpung di bidang-bidang yang jarang disentuh peneliti di Tanah Air, beberapa perempuan peneliti diakui kemampuannya, bahkan ada yang menjadi satu-satunya peneliti di bidang tertentu di Indonesia.
Beberapa perempuan menjadi pelopor penelitian di sejumlah bidang. Contohnya, Yayuk Rahayuningsih Suhardjono (68) dan Yosmina Hellena Tapilatu (41). Yayuk lebih dari 40 tahun menjadi peneliti di Pusat Penelitian Biologi LIPI dan merupakan satu-satunya peneliti taksonomi Collembola (ekor pegas/sejenis serangga tanah) di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.
Adapun Yosmina, peneliti di Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI di Kota Ambon, Maluku, menjadi satu-satunya peneliti di Indonesia yang meneliti tentang mikroba di laut dalam, Bacillus mojavensis. Mikroba ini penghasil senyawa aktif yang berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan sel kanker darah.
Sejumlah penghargaan pun diberikan kepada perempuan peneliti. Perempuan peneliti di bidang sains, teknologi, keinsinyuran, dan matematika, misalnya, setiap tahun mendapat kesempatan meraih Anugerah Women in Science dari lembaga L’Oreal Internasional.
”Penghargaan diberikan karena bidang-bidang tersebut dianggap langka ditekuni perempuan,” ujar Direktur Komunikasi, Hubungan Publik, dan Keberlanjutan L’Oreal Indonesia Melanie Masriel.
Mia Siscawati, dosen Program Studi Kajian Gender, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, mengatakan, ketika pandangan masyarakat mulai berubah dan perempuan tertarik untuk menjadi peneliti, muncul perempuan peneliti berusia muda yang tertarik untuk menjadi peneliti di bidang-bidang ilmu yang masih didominasi laki-laki. Namun, dalam membangun karier di bidang tersebut membutuhkan perjuangan yang keras dari perempuan peneliti.
Herry Yogaswara, Kepala Bidang Pengelolaan dan Diseminasi Hasil Penelitian Pusat Penelitian Kependudukan LIPI mengungkapkan, selama ini tidak mengalami kendala ketika berada satu tim dengan perempuan peneliti. ”Sejak tahun 1995, kepala pusat penelitian saya adalah perempuan. Di kelompok penelitian kami, jumlah laki laki dan perempuan relatif sama termasuk dari sisi jenjang pendidikan,” papar Heri.
Gludug Ariyo Purnomo, peneliti muda di Eijkman, justru merasa diuntungkan bekerja dengan para perempuan peneliti karena biasanya lebih telaten, teliti, dan terorganisasi. ”Memang tidak semua siap ke lapangan, tetapi ada juga lelaki yang tidak siap ke lapangan. Itu lebih bergantung pada orangnya, bukan jenis kelaminnya,” ujarnya. (IFR/Harian Kompas)