News

Peraturan Otonomi Daerah Harus Melihat Kebutuhan Daerah

JAKARTA – Dua tahun implementasi UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah masih menyisakan tanda tanya besar, beberapa persoalan urusan kewenangan menjadi kendala daerah dalam mengembangkan daerah otonom. Beberapa peralihan wewenang kerap menjadi masalah yang tak kunjung diselesaikan. Muncul wacana revisi UU No 23 Tahun 2014 yang diharapkan dapat menjadi solusi bagi kesejahteraan daerah.

Beberapa pandangan terkait regulasi otonomi daerah coba dipaparkan oleh Hanif Nurcholis Akademisi dan peneliti Universitas Negeri Jakarta dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh BPP Kemendagri dan bekerja sama dengan Plan C dan Ford Foundation di Aula BPP Kemendagri, Selasa (21/2).

Dalam kesempatan tersebut Hanif memaparkan sejarah otonomi daerah yang diterapkan ketika Herman Willem Daendels berkuasa di Indonesia, model pemerintahan tersebut sama persis dengan pemerintahan di Perancis ketika itu. Kemudian dalam perkembangannya beberapa peraturan otonomi daerah erat kaitannya dengan peraturan yang diterapkan Daendels.

Sama halnya dengan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diterapkan saat ini, menurutnya UU tersebut saat ini tidak lebih dari model pemerintahan neo binnenlandche bestuur yang diterapkan ketika Daendels berkuasa.

“UU tersebut juga berasal dari UU No 22 Tahun 1999 kemudian diganti menjadi UU No 32 Tahun 2004 kemudian UU No 23 Tahun 2014. Dengan membentuk Pemerintahan paralel di provinsi dan kabupaten/ kota, daerah otonom sekaligus wilayah administrasi,” tuturnya.

Hanif juga mengatakan pentingnya nalar kritis dalam melihat sebuah peraturan. Menurutnya, perlu kritis ketika urusan pemerintahan sudah dipatok dan diterjemahkan seperti patokan yang ditetapkan. Padahal, menurut hanif regulasi dibuat harus berdasarkan kebutuhan masyarakat. UU yang ada saat ini, tambah Hanif justru sebaliknya, tidak melayani kebutuhan masyarakat dan terkesan melayani pembuatnya.

“Contohnya dinas-dinas dibuat tanpa melihat kebutuhan daerah, banyak yang terjadi, kita mesti melihat bagaimana ketika masa belanda di kota itu dibuat badan khusus yang menangani listrik jalanan kota, wc perkotaan, jalan raya perkotaan, rumah potong hewan di kota, jaringan gas di perkotaan dan sebagainya,” kata Hanif.

Selain itu, dalam menyusun regulasi, kebutuhan daerah harus menjadi pertanyaan awal. Pelayanan apa yang semestinya diterapkan di suatu daerah yang bisa menyejahterakan. “Itu kuncinya. Jangan urusan pemerintahan dipatok disamakan, padahal kebutuhan rilnya belum tentu sama. Biasanya kita dibalik, dibuat dulu undang-undangnya, lembaganya, kemudian ditunjuk daerah mana yang harus menerapkan,” tegas Hanif.

Hal tersebut pun dialami oleh Pemprov Lampung. Theresia Staf Ahli Gubernur Lampung mengatakan banyak kendala dan masalah ketika diberlakukan pengalihan wewenang dari kabupaten ke provinsi. Seperti contoh pelimpahan kewenangan pendidikan menengah atas. Provinsi Lampung harus menerima lebih dari 9000 tenaga pendidik, anggaran pendidikan pun menjadi bengkak hingga 100 persen, dan sangat membebani APBD.

“Selain itu, pelinpahan tenaga penyuluhan, urusan Kesbangpol sangat terkendala. Kesbangpol masih menjadi perangkat daerah, di waktu yang akan datang belum jelas juga personil berikut bawahannya bagaimana,” keluhnya.

Terakhir Hanif menyarankan agar pemerintah perlu dimodernkan sesuai dengan Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 yang berasas otonomi dan tugas pembantuan. Selain itu, untuk mengatur dan melaksanakan hubungan keuangan antara pusat dan daerah secara adil dan selaras perlu diatur kembali ketentuan tentang pajak dan retribusi daerah serta dana perimbangan. 

“Kabupaten/kota/desa harus diberi hak menarik pajak-pajak besar, seperti contoh di Prancis, daerah menarik pajak kendaraan. Terakhir Model Pemerintahan tidak langsung (indirect rule) terhadap komunitas perdesaan ala IGO 1906 juncto IGOB 1938 diakhiri karena model ini tidak bisa memberi pelayanan publik yang dapat menyejahterahkan rakyat desa,” tutup Hanif. (MSR)

Join The Discussion