BPD (Badan Permusyawaratan Desa) sejatinya merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi perwakilan Pemerintahan Desa berdasarkan representasi wilayah dan ditetapkan secara demokratis, sekaligus lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagai unsure penyelenggara.
Namun di beberapa daerah masih ada beberapa fungsi dan peran BPD yang belum optimal. Untuk itu, Bidang Pemerintahan Desa, Pusat Litbang Administrasi Kewilayahan, Pemerintahan Desa, dan Kependudukan melakukan riset dan kajian terhadap peran PBD dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Riset tersebut dilakukan di beberapa desa, seperti Kertajaya, Kraja, Koto Gaek, Koto Gaek Guguak, Koto Baru, Totiyo, dan Gentan.
Dalam riset tersebut, penilaian berupa adakah aspirasi masyarakat dalam proses penyusunan RPJMDes, musyawarah BPD, musyawarah desa, koordinasi dengan Pemdes, Pembahasan Peraturan Desa, dan Kesepakatan Perdes bersama Kades. Dari beberapa penelitian tersebut, masih banyak desa yang belum optimal menjalankan hal tersebut.
Faktor penyebab adalah disharmonisasi anggota BPD dan Kepala Desa sebagai akibat ego kepentingan. “Lemahnya pemahaman BPD terhadap tugas dan fungsi sebagai akibat kurangnya Bintek dan sosialisasi, lemahnya tingkat kepercayaan BPD terhadap Kades, sebagai akibat dari Pemerintah Desa kurang kooperatif dan kurang transparan,” kata Asrori, peneliti BPP Kemendagri
Selain itu faktor regulasi pun turut meliputi, seperti pemda belum menidaklanjuti UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan peraturan turunannya, baik dalam bentuk Perda ataupun Perbup tentang BPD, aturan tidak mudah diterapkan dilapangan, yang membuat aturan belum pernah menyapaikan filosofi atuaran, sosialisasi Permendagri 110 kepada BPD belum ada sehingga menafsirkan sendiri-sendiri, tidak ada pasal yang mengatur boleh atau tidak BPD/BMN melihat SPJ (tidak ada pasal yang melarang/membolehkan), masih dijumpai dalam UU dan peraturan turunannya yang bahasanya samar-samar, sehingga timbul konflik, pengaturan pengisian jabatan perangkat desa yang bebas dari dinasti keluarga kades
Dari hasil penelitian tersebut, Asrori dkk menyarankan perlu ada pengkajian & revisi Permendagri No 110 Tahun 2016 terkait pasal yang mengatur fungsi pengawasan BPD terhadap kinerja Kades yang dianggap masih multi tafsir seperti ketegasan pasal yang mengatur BPD boleh/tidak melihat SPJ. “Perlu juga mengkaji & merevisi Permendagri yang mengatur pengisian jabatan perangkat desa bebas dari dinasti keluarga kades. Kemendagri atau Dirjen Bina juga perlu mengeluarkan Surat Edaran mengenai Pemerintahan Desa terkait dengan percepatan masing-masing daerah Kab/Kota untuk segera menerbitkan Perda/Perbup/Perwali,” tutupnya. (IFR)