News

Penting Untuk Menakar Komunikasi Sains di Indonesia

Usai tenggelam Dwi Hartanto, terbitlah Taruna Ikrar. Keduanya diterpa masalah serupa yang menjadikan mereka perhatian publik Indonesia, yakni membesar-besarkan prestasi akademis di media massa yang berujung luapan hujatan, karena ternyata mereka berdusta. Dwi Hartanto dulu menggadang-gadangkan dirinya sebagai seorang ilmuwan roket terkemuka, seorang “the next Habibieā€. Sedangkan Taruna Ikrar mengklaim bahwa dirinya mendapatkan nominasi Nobel. Terlepas kebohongan keduanya, ada satu hal yang sejatinya turut penting untuk diperbincangkan: di manakah daya kritis media yang memberitakannya?

Terlihat bahwa media kita kerap memperlakukan hal-hal terkait sains, terutama yang datangnya dari anak bangsa sendiri, sebagai sesuatu yang otomatis layak dibombastiskan. Media lalai melakukan riset mendalam terkait latar belakang kedua tokoh tersebut, malah mentah-mentah mengamini pernyataan mereka, suatu hal yang dapat dikatakan sembrono dan justru mensponsori pemberitaan palsu alias hoax. Hasilnya, masyarakat kita yang termasuk kagetan dan amat senang berbagi informasi tanpa kritik, mencerna informasi yang keliru. Hal tersebut jelas memperlihatkan sebuah mentalitas buruk dalam merespon isu-isu sains.

Solusinya adalah science communication yang baik. Komunikasi sains, sebuah ranah ilmu dan praktik yang rasanya masih merupakan barang asing di Indonesia, saya rasa cukup mendesak untuk dikembangkan. Apakah komunikasi sains? Sederhananya, ia adalah ilmu mengomunikasikan topik-topik sains dari ilmuwan kepada ilmuwan, dan publik. Dalam praktik, hal tersebut dilakukan melalui pameran, jurnalisme, dan pemetaan kebijakan publik dengan sains sebagai elemen utamanya. Serta yang tak kalah penting, keberadaan komunikator sains selaku penyebar informasi sains dengan gaya populer dari ilmuwan kepada kalangan publik.

Kendala Mempopulerkan Sains

Neil deGrasse Tyson, ilmuwan astrofisika dan komunikator sains ternama asal Amerika Serikat, mengatakan bahwa keahlian menulis adalah syarat mendasar bagi seorang komunikator sains. Lebih tepatnya, kemampuan mengomunikasikan kompleksitas sains ke dalam bahasa yang mudah dimengerti dan menarik bagi masyarakat luas. Umumnya, komunikasi tersebut dilakukan di medium jurnalistik seperti blog, sosial media, dan televisi; terutama apabila sang komunikator sains mempunyai reputasi besar, misalnya Neil yang menjadi pembawa acara beberapa tayangan sains populer seperti Nova ScienceNow, Cosmos: A Spacetime Odyssey, dan StarTalk.

Belum lama, ada kawan, seorang profesional perusahaan media dan lulusan studi sains, menceritakan pengalamannya kepada saya kala dirinya berkorespondensi dengan sejumlah ilmuwan lokal perihal mengapa mereka cenderung absen dalam mengomunikasikan sains yang mereka kuasai ke publik, terutama di media sosial. Jawabannya, kekhawatiran dalam menerima komentar negatif masyarakat, apalagi jika penelitian mereka menyinggung tabu lalu direspon secara kasar menggunakan dalil-dalil agama yang justru tidak nyambung. Biasanya, sebab masalahnya ada dua,yakni tidak terampilnya cara berkomunikasi sang ilmuwan, dan kebebalan masyarakatnya sendiri.

Pertama, keterampilan berkomunikasi. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa kemampuan menulis ilmuwan-ilmuwan Indonesia, baik untuk keperluan akademis maupun publik, masih bertaraf rendah. Sulit bagi mereka menembus jurnal-jurnal internasional dengan Bahasa Inggris yang pas-pasan, sama halnya dengan sulitnya mereka menembus media massa dengan gaya Bahasa Indonesia yang kaku dan tidak menarik; yang terakhir adalah keluhan yang cukup sering saya dengar dari kawan-kawan yang berprofesi sebagai editor. Agaknya, terlalu banyak berjibaku dengan urusan birokrasi-administratif membuat sebagian besar ilmuwan Indonesia jarang menulis.

Kedua, kebebalan masyarakat, terutama bagaimana sains seringkali diposisikan antagonis terhadap nilai-nilai keagamaan. Sebutlah isu halal-haram vaksin dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi program vaksinasi anak di beberapa daerah. Menurut data tahun 2017 terbaru dari Kementerian Kesehatan, provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat gagal memenuhi target vaksinasi sebesar 95%, alasannya karena masyarakat meragukan kehalalan enzim babi dalam vaksin. Padahal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa No. 4 tahun 2016 yang menghalalkan imunisasi, sayangnya informasi fatwa tersebut belum ampuh meyakinkan sebagian masyarakat.

Agama bukan satu-satunya alasan perihal rendahnya penetrasi sains dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pemerintah juga sering menelurkan kebijakan sains yang tidak tepat sasaran, mulai dari kecilnya kucuran dana riset, minimnya pengadaan alat-alat penelitian, sampai buruknya koordinasi dengan stakeholder di lapangan. Berbeda dengan negara maju, misalnya Amerika, yang pemerintah maupun pihak swastanya mampu mengolah sains untuk mendorong perekonomian dan kesejahteraan sosial masyarakatnya. Bahkan pihak swasta, terutama perusahaan-perusahaan media televisi, berani memberikan dana dan ruang bagi para ilmuwan untuk tampil sebagai mengomunikasikan keahliannya.

Momen kolaborasi media-ilmuwan terpenting dalam masa kontemporer adalah diproduksinya serial dokumenter Cosmos: A Personal Voyage, disiarkan tahun 1980 di Amerika, dipandu kosmolog Carl Sagan sebagai pembawa acaranya. Cosmos, yang membahas tentang sejarah alam semesta dan seputar fenomena sainsnya, tercatat ditonton oleh 500 juta orang di 60 negara, menjadikannya salah satu tayangan paling banyak ditonton dalam sejarah pertelevisian. Cosmos, dan Carl Sagan, lantas menjadi inspirasi bagi para komunikator sains ternama masa kini, seperti Neil deGrasse Tyson, Brian Cox, dan Bill Nye.

Sains berkaitan dengan inovasi, dan media massa berperan menyebarluaskannya. Sayangnya, saya melihat stasiun televisi Indonesia cenderung belum mampu mempersembahkan acara-acara bertemakan sains yang dibalut dengan elegan, inspiratif bagi kalangan anak-anak maupun dewasa, dan dipandu seorang komunikator sains yang kharismatik layaknya di Amerika; kecuali mungkin acara kuis Indosat Galileo yang dulu sempat tayang di SCTV pada periode 1999-2003. Masalah sumber daya, dana produksi, dan pangsa penonton yang mungkin relatif khas, menjadikan tayangan berbau sains bagaikan barang mahal yang meragukan untuk dijual.

Membuka Dialog, Mencerahkan Publik

Penerapan komunikasi sains adalah missing link dari upaya pengembangan sains di Indonesia. Padahal, membagikan pengetahuan yang dimiliki dan menebar inspirasi melaluinya adalah aspek terindah dari sains itu sendiri. Di masa kini, sains tidak bisa lagi eksklusif, ia harus memicu dialog publik. Komunikasi sains yang mumpuni berperan penting dalam merawat nalar publik, terutama di masa modern seperti sekarang.

Harapan lainnya, agar masyarakat tidak termakan isu-isu hoax seputar inovasi sains di negeri sendiri. Contohnya cukup banyak ditemukan dalam satu dekade belakangan ini, seperti kasus Pupuk Nutrisi Saputra, Blue Energy, Padi Supertoy, Pembangkit Listrik Tenaga Hampa, dan lain-lain. Alih-alih membanggakan, fenomena produk-produk inovasi palsu buatan anak negeri tersebut malah menjadi catatan kaki memalukan dalam sejarah kita.

Sudah waktunya bagi pihak-pihak yang bekerja dengan sains, baik itu ilmuwan, jurnalis, dan para pemangku kebijakan publik di Indonesia, berani mengemas sains sebagai wacana publik dan mempromosikannya secara akurat, inspiratif, dan juga menarik. Pelatihan, penyuluhan, dan pembelajaran komunikasi sains rasanya harus segera dilaksanakan di kampus-kampus dan institusi-institusi sains lainnya. Selain untuk mencetak kader-kader ilmiah nan cerdas, juga menyiapkan mereka sebagai agen perubahan untuk mendorong pembentukan masyarakat Indonesia berbasis sains yang rasional, kritis, dan peka terhadap modernitas serta kemajuan zaman.

 

Ditulis oleh: Rahadian Rundjan/dw.com/id

Join The Discussion