RABU pekan lalu, penulis mengikuti Seminar yang cukup menarik bertemakan “Hilirisasi Hasil Riset” yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan Tinggi, Iptek dan Kebudayaan.
Menurut penyelenggara, Rudi Arifiyanto, Seminar ditujukan untuk melakukan pendalaman sekaligus evaluasi penghiliran hasil-hasil penelitian yang selama ini banyak mengalami kemandegan. Diharapkan lewat evaluasi ini, bisa ditemukenali tahapan-tahanan yang krusial sehingga menghambat penghiliran hasil penelitian dapat dilewati dengan baik dengan menyimak pengalaman yang cukup berhasil dalam penghiliran sejak start-upsampai proses utuh inovasi yang berkelanjutan sebagaimana diimajinasikan dalam model triple helix.
Penghiliran produk penelitian, baik yang dilaksanakan perguruan tinggi maupun lembaga pemerintah non-kementerian dan lembaga penelitian dan pengembangan yang ada di kementerian, setidaknya membutuhkan tiga hal, yaitu: sumber-sumber produksi riset, kerja sama antarlembaga penelitian, serta pergerakan antara industri dan lembaga penelitian. Diharapkan dengan memahami tahapan dan kebutuhan yang diperlukan, maka pemerintah, baik lewat investasi maupun regulasi dapat membantu mempercepat penghiliran produk riset.
Pengalaman yang cukup berhasil dilakukan oleh Pengembangan Usaha dan Inkubasi Universitas Gadjah Mada (PUI UGM) bisa menjadi salah satu contoh yang dapat direplikasi. Menurut Direktur PUI UGM, Hargo Utomo, transformasi pengelolaan perguruan tinggi dari Teaching University menjadi Research University dan Entrepreneurial University mengilhami PUI untuk melakukan penghiliran produk penelitian civitas academica UGM.
Dalam konteks makro, pergeseran dari Teaching University menuju Entreprenurial University ditandai dengan tiga kondisi, yaitu: (1) revolusi Industri termutakhir (4.0) yang membawa perubahan yang cepat pada lingkungan ekonomi global terutama adopsi sains dan teknologi digital; (2) proses manajemen perguruan tinggi pada gilirannya mengalami transformasi dari pola teaching university ke entrepreneurial university; (3) keberadaan perguruan tinggi sebagai agen perubahan diharapkan mampu berperan sebagai katalisator inovasi yang berimbas pada peningkatan produktivitas, daya-saing dan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Salah satu faktor kunci dalam penghiliran produk riset adalah kemampuan manajerial. Pemahaman manajemen bisnis ini akan mampu menjadikan riset sebagai objek pembelajaran untuk meningkatkan nilai tambah berupa modal manusia. Di samping itu, industri juga akan menjadi bagian dari pembelajaran sehingga terjadi sinergi antara sebuah produk invasi, interaksi yang akan menghasilkan dampak ekonomi. Interaksi ini menyiratkan pesan perguruan tinggi tidak hanya berfokus pada kegiatan riset atau entrepreneurial saja, tetapi kini harus mampu membangun model yang mengkombinasi di antara keduanya.
Selanjutnya, lewat interaksi antarpelaku, kebutuhan mempercepat proses inkubasi hasil riset dan inovasi perguruan tinggi berjumpa dengan ragam industri baru berbasis sains dan teknologi. Dari hasil interaksi ini, keprigelan perguruan tinggi dalam melakukan ekstrapolasi sains dan teknologi dapat terwujud lewat pengabdian kepada masyarakat dalam wujud nyata peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat.
Dalam praktiknya, penghiliran membutuhkan prakondisi berupa pemahaman mengenai aspek-aspek industri, organisasi, dan individu sebagai pelaku sehingga kemandegan proses penghiliran produk inovasi dapat diatasi. Misalnya, tenaga akademik seperti dosen harus lebih terbuka dan menurunkan tingkat ego sainsnya. Demikian juga dengan industri perlu untuk mendengar dinamika dalam penelitian. Tahap prakondisi ini membutuhkan adanya tingkat kesiapan produk inovasi agar lebih siap masuk di industri. Di samping itu, kesiapan pasar juga perlu bersinergi dengan tingkat kesiapan teknologi.
Merujuk pengalaman dan kegagalan sebelumnya, ekosistem inovasi dalam skema Triple Helix misalnya, industri ikut membantu pendanaan dan percepatan penghiliran, pemerintah juga perlu meningkatkan dan mempertajam alokasi anggaran penelitian dan pengembangan, fasilitasi untuk memenuhi standaris dan perlindungan hak kekayaan intelektual (HAKI). Para akademisi juga perlu terbuka untuk belajar dari dinamika industri karena pada kenyataannya pendampingan dari industri merupakan sebuah keniscayaan. Disinilah komunikasi atau dalam istilah Hargo, “srawung” menjadi salah satu kata kunci dalam penghiliran produk penelitian.
Tak dipungkiri bahwa masih ada jarak yang jauh antara dunia akademik dengan pelaku industri sehingga peran mediasi menjadi penting artinya untuk membangun pemahaman terhadap prinsip dasar interaksi, kebutuhan unit, karakter dan perilaku masing-masing bagi kelancaran proses penghiliran produk inovasi. Untuk terwujudnya “srawung” dibutuhkan perubahan mental dari para akademisi berupa budaya inovasi, komunikasi, mendengar dan fokus serta konsisten pada hasil yang ingin dicapai.
Berdasarkan pengamalan PUI UGM, ada beberapa kata kunci yang bisa disarikan: (1) menjadikan kampus sebagai sebuah “teaching industry” yang sekaligus kawasan sains dan teknologi melalui proses penelitian dan pengembangan, kreativitas, inovasi, lisensi HAKI, pemasaran dan “start-up company.” Dalam kerangka kebijakan penghiliran inovasi, UGM mempromosikan tagline “socio-entrepreneurial university” dengan meneguhkan komitmen UGM sebagai kampus rakyat dengan semangat gotong royong menghilirkan produk inovasi yang bersifat multi dan lintas disiplin keilmuan untuk kepentingan bangsa; (2) mengokohkan kampus sebagai agen perubahan dengan menampilkan beragam inovasi berbasis iptek untuk kemaslahatan manusia secara berkelanjutan; (3) kebijakan kampus diarahkan untuk mempecepat proses penghiliran hasil riset dan inovasi melalui sinergi kegiatan unit kerja dan optimasi sumberdaya produktif sejak permulaan sampai akhir proses.
UGM memprioritaskan pengembangan pusat-pusat pembelajaran dan padepokan industri untuk mendukung kedaulatan dan memperkuat daya saing bangsa melalui ketangguhan dalam hal sains dan teknologi dan kekokohan dalam kapasitas dan kompetensi modal insani. Sebagai pusat padepokan industri dan kawasan saintek, UGM memiliki 5 fokus area: (1) kesehatan dan farmasi, Inovasi dan pengembangan produk dan alat kesehatan dimaksudkan untuk mendukung kemandirian bidang kesehatan dengan cara memproduksi di dalam negeri sehingga akan mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap produk dan alat kesehatan yang selama ini dipenuhi dengan cara impor; (2) agro industri dengan mengembangkan produk agroindustri untuk menyokong upaya pemerintah dalam membangun kedaulatan pangan; (3) manufaktur, rekayasa dan teknologi informasi dengan mengembangkan aneka produk manufaktur, rekayasa dan teknologi informasi untuk pengembangan infrastruktur yang menopang percepatan laju pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional; (4) energi baru dan terbarukan untuk keberlanjutan ekonomi Indonesia dengan mengurangi ketergantungan terhadap fosil; (5) tata kelola yang berkelanjutan dalam merawat pusaka, seni dan budaya serta merawat kesadaran untuk menjaga keberlanjutan karya cipta dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Keberhasilan PUI UGM akan mampu menjadi contoh kawasan sains dan teknologi yang merupakan prioritas nasional yang akan disusul dengan kawasan sains dan teknologi di kampus lainnya, seperti ITB, IPB dan UI. Selanjutnya bagaimana pemerintah bisa memberi ruang yang lebih kondusif sebagaimana dipesankan oleh Presiden Joko Widodo: “Berikan ruang untuk start-up berkembang. Ini salah satu alasan pentingnya deregulasi. Mengurani tumpang tindihaturan dan persyaratan yang menghambat cara, pola, dan inovasi baru.” [***] (RMOL.com)
Penulis adalah research fellow di Groningen Research Centre for Southeast Asia and ASEAN dan anggota the James Coleman Associations.