News

Pengelolaan Sampah di Darat Belum Maksimal

JAKARTA- Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (ISWA) Sri Bebassari mengatakan, banyaknya sampah plastik di laut akibat penanganan di darat yang tidak maksimal. Padahal, praktik membuang sampah ke laut merupakan tindakan kriminal. “Kalau penanganannya cuma 60 persen, yang 40 persennya kemana?” tanyanya saat menjadi narasumber diskusi kelompok terfokus, bertajuk “Pengelolaan Sampah Plastik: Dinamika dan Probelmatikanya di Daerah”, yang digelar Puslitbang Pembangunan dan Keuangan Daerah Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kemendagri, Senin (22/4).

Berbeda dengan sampah yang ditaruh di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), atau masih di truk sampah yang merupakan perbuatan legal sesuai UU. Hanya saja, proses pengangkutan dan pengumpulan sampah harus diperhatikan dengan menyediakan layanan yang memadai. Namun sayangnya, menurut Sri hampir semua daerah belum memiliki TPA dan kendaraan pengangkut sampah dengan kondisi baik.

Salah satu kelemahan sampah plastik adalah sulit terurai secara alami karena membutuhkan waktu yang lama. Menurut Sri, hal itu membuat gunungan sampah di TPA rawan longsor. Untuk itu, pihaknya terus mendorong penggunaan jenis plastik yang mudah terurai. “Jadi yang dimusuhi bukan plastiknya, tetapi tidak terurainya,” katanya

Plastik merupakan teknologi modern, karena memiliki nilai kemanfaatan yang tinggi. Namun terkadang penggunaannya justru disalahgunakan. Sri mengimbau, agar perusahaan dan pemerintah bertanggung jawab terhadap peredaran plastik di masyarakat. “Seperti jual obat, apotek yang benar ­kasih tahu caranya minum obat sesuai resep, meski apotek belum memberitahu cara membuang obat yang kadaluarsa,” katanya.

Sri menjelaskan, TPA merupakan syarat dari keberadaan kota. Namun, saat ini banyak kota yang memiliki infrastruktur bekualitas tetapi tidak ditunjang dengan fasilitas TPA yang baik. Padahal menurutnya, pentingnya TPA serupa dengan toilet di suatu rumah. “Kayak Jakarta ini kan WC (TPA) nya meminjam ke tetangga,” katanya.

Tidak sedikit daerah berdalih minimnya penanganan sampah akibat terbatasnya anggaran. Oleh karenanya Sri berharap, Kemendagri dapat mengeluarkan Permendagri mengenai biaya operasional.  Dengan adanya regulasi itu pemerintah daerah dapat mengajukan anggaran pengelolaan sampah ke DPRD.

Sri menyebutkan, pengelolaan sampah harus menggunakan parameter biaya per ton bukan per periode. Sebab, ada daerah yang memiliki anggaran pengelolaan sampah yang keliatannya besar jika diukur dari pertahun, tetapi ketika dihitung dari banyaknya sampah yang dikelola angka itu belum ideal.

Untuk menciptakan pengelolaan sampah yang berkualitas diperlukan peran masyarakat. Sri menjelaskan, Singapura memiliki skema pembiayaan penanganan sampah yang ditunjang dari retribusi masyarakatnya. Di negara itu, lanjut Sri, setiap rumah membayar retribusi sampah sebesar Rp 200 ribu perbulan. Angka itu cukup tinggi jika dibandingkan di Indonesia yang dinilai terlalu rendah. “Tetapi bisa bayar listrik sampai satu juta, bukan karena miskin, melainkan prioritas kita masih pamer ruang tamu (fasilitas lainnya),” katanya.

Moh. Ilham A. Hamudy selaku moderator diskusi menjelaskan, BPP Kemendagri sebenarnya telah merekomendasikan Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah agar Permendagri mengenai tipping fee segera diterbitkan. Namun, ia mengaku sampai saat ini belum tahu secara pasti kelanjutan dari rekomendasi tersebut. “Sebab kewenanganan membuat Permendagri bukan kewenangan Badan Litbang (BPP), tetapi di Ditjen Bina Keuangan Daerah,” katanya.

Join The Discussion