News

Penelitian untuk Pemanfaatan Limbah Tahu

Sumedang — Pembuangan limbah tahu ke sungai dari 11 pabrik tahu di Desa Giriharja Kabupaten Sumedang membuat masyarakat yang berada di hilir sungai terkena dampaknya. Bau yang menyengat karena limbah yang membusuk menjadi masalah utama bagi masyarakat yang berada hilir sungai.

Hal ini juga yang membuat Neni Sitawardani, seorang peneliti asal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tergerak untuk membuat masyarakat tidak terkena dampak dari limbah tahu. Kegiatannya adalah mendirikan unit pengolahan limbah cair tahu secara anerobik dengan beberapa tahap, dengan rangkaian reaktor berukuran 6×20 m3 di dusun Giriharja (Desa Kebonjati, Kecamatan Sumedang Utara di Kabupaten Sumedang).

Menurut studi dari Willian dan Aoyagi, besarnya jumlah air bersih yang dikonsumsi dan limbah cair yang dihasilkan dari satu kilogram kedelai mentah, yaitu sebesar 15,75 liter dan 5,7 liter.

Laporan Kementrian Riset dan Teknologi (2010), ada sekitar 84.000 pengrajin tahu (skala kecil ataupun besar) yang ada di Indonesia. Pengrajin tahu tersebut mengonsumsi kedelai sekitar 2,56 juta ton per tahun. Hal tersebut bila dihitung secara sederhana menghasilkan limbah pekat sebesar 14,6 juta liter, bila dihitung secara keseluruhan akan terdapat angka kasar sekitar 20 juta liter per tahun.

Karakteristik yang unik dari limbah tahu yaitu mempunyai pH rendah (4-5) dan juga mengandung beberapa bahan yang mudah terurai, seperti gula tereduksi, sukrosa, pati, protein dan asam lemak terbang. Dengan begitu dibutuhkan proses pengolahan limbah yang mudah efisien dan efektif untuk bisa menguraikan limbah tersebut untuk menjadi air yang layak buang dan aman bagi lingkungan sehingga tidak menimbulkan bau busuk di hilir sungai disaat musim kemarau.

Bahkan air tersebut bisa didaur-ulang sehingga bisa dimanfaatkan kembali untuk proses produksi tahu. Bahkan dengan proses anaerobik limbah tahu dapat dimanfaatkan menjadi energi biogas yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, baik untuk memasak ataupun tenaga listrik.

“Di harapkan nantinya produksi gas bisa berjalan baik sehingga tidak ada lagi komplain dari masyarakat, walaupun ada itu pasti bukan dari Giriharja, karena banyak pengrajin tahu selain di Giriharja. Hasil biogasnya sendiri diharapkan nantinya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat bukan oleh pengusaha tahu tetapi oleh masyarakat yang tinggal di desa itu sendiri untuk memasak,” ujar Neni ketika dihubungi via telepon.

Anaerobik sendiri adalah proses biologis, proses di mana mikroba tidak bisa hidup bila ada udara sehingga harus tertutup dan tidak boleh ada udara masuk. Limbah organik akan diuraikan oleh mikroba menjadi metana dan karbon dioksida. Cara ini sangat cocok dengan karakteristik limbah cair tahu karena kandungan bahan organik yang cukup tinggi. Sehingga dalam proses ini dihasilkannya energi dalam bentuk biogas, lumpur yang dihasilkan sedikit, tidak memerlukan lahan yang besar dan tidak membutuhkan energi untuk aerasi.

Teknologi pengolahan limbah yang mengandung beban polutan organik yang tinggi secara anerobik sudah banyak diakui keuntungannya. Tetapi tantangan lainnya adalah dalam hal implementasi di lapangan dan keberlanjutannya. Untuk masyarakat, hal yang dibutuhkan adalah keikutsertaan dari awal dalam pembangunan dan pembelajaran mengenai apa yang terjadi di dalam unit IPAL anaerobic itu sendiri.

Seringnya terjadi masalah sosial dan ekonomi karena kurang diperhatikannya hal tersebut. Kegagalan suatu difusi teknologi banyak disebabkan oleh ketidakseimbangan antara peneliti dan fokus dari masyarakat itu sendiri. Seperti studi penerapan biogas di daerah perdesaan di India menunjukkan pentingnya difusi teknologi dan pemahaman akan aliran sumber daya dan politik ekonomi lokal.

“Di sini LIPI melibatkan masyarakat secara langsung dalam pembuatan proyek tersebut, agar nantinya masyarakat yang akan mengelola pengolahan limbah ini dengan baik. Hal ini juga sekalian memberikan ilmu bagi masyarakat tentang apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, seperti apabila mereka memakai bahan kimia yang dapat membahayakan proses anaerobik tersebut,” ujar Neni.

Akan tetapi masyarakat belum bisa menikmati hasilnya karena hal ini masih dalam proses penelitian. “Ini masih Implementation research, masih membuat dan ngetes. Jadi masih dalam proses tes, makanya agak lama, masyarakat yang walaupun sudah tidak sabar mereka juga mengerti bahwa kita bukan proyek yang gampang berdiri,” ujar Neni.

Hingga akhir 2015 pekerjaan fisik sudah sekitar 80 persen, pada 2016 hingga kini masih dilakukan modifikasi-modifikasi karena instalasi yang belum maksimal.

Diperlukannya kesabaran dari peneliti dan masyarakat agar reaktor ini nantinya bisa berjalan dengan baik. Masyarakat sendiri sudah cukup sabar dalam menunggu agar hasil penelitian ini bisa berguna, walaupun sebelumnya masyarakat sempat melakukan protes karena pengerjaan yang tak kunjung selesai. Seperti kata pepatah dari bahasa Jawa Alon-alon waton kelakon yang berarti pelan-pelan asal terwujud dengan hasil yang maksimal. (IFR/CNN Indonesia)

Join The Discussion