Orang-orang adalah pelaku utama berita palsu. Demikian salah satu hasil penelitian ahli Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat. Mereka mengadakan studi meneliti alur cerita di Twitter. Dan penelitian menemukan bahwa orang lebih senang memilih berita palsu.
Akibatnya, berita palsu bergerak lebih cepat, lebih jauh dan lebih dalam melalui jaringan sosial daripada berita sebenarnya.
Dikutip dari The New York Times, Jumat (9/3/2018), para periset menemukan pola tersebut diterapkan pada setiap subjek yang mereka pelajari, bukan hanya politik dan masalah perkotaan, tapi juga bisnis, sains, dan teknologi.
Sebanyak 70 persen lebih mungkin berita yang beredar di Twitter cenderung disukai bohong. Cerita dan berita yang benar jarang di-retweet lebih dari 1.000 orang. Satu persen cerita palsu bisa dibagikan oleh 1.000 sampai 100.000 orang. Dan berita itu akhirnya menghasilkan enam kali kesalahan yang dibagikan kepada 1.500 orang.
Robot perangkat lunak memang bisa mempercepat penyebaran cerita palsu. Tapi periset menemukan bahwa dengan atau tanpa mesin hasilnya pada dasarnya sama.
“Awalnya agak menyedihkan untuk menyadari betapa manusia yang bertanggung jawab,” kata Sinan Aral, profesor di MIT. Sloan School of Management, dan peneliti. “Bukan robot yang harus disalahkan.”
Peneliti MIT menunjuk faktor-faktor yang berkontribusi terhadap daya tarik berita palsu. Dengan menerapkan alat analisis teks standar, mereka menemukan bahwa klaim palsu lebih banyak disebarkan daripada yang sebenarnya.
Penulis penelitian ini juga mengeksplorasi emosi yang ditimbulkan oleh cerita palsu dan benar. Tujuannya, kata Soroush Vosoughi, peneliti postdoctoral di MIT Media Lab dan peneliti utama, untuk menemukan petunjuk apa yang “sesuai dengan sifat manusia yang membuat mereka suka berbagi berita palsu.”
Apa yang bisa kita lakukan?
Periset MIT mengatakan, memahami bagaimana penyebaran berita palsu merupakan langkah awal untuk mengekangnya. Mereka menyimpulkan perilaku manusia memainkan peran besar dalam menjelaskan fenomena tersebut.
“Kami harus sangat berhati-hati dalam membuat kesimpulan bahwa berita palsu memiliki dampak yang besar,” kata Duncan Watts, peneliti utama di Microsoft Research.
Peneliti lain dari MIT, Deb Roy, mantan ilmuwan media utama Twitter, sedang mengembangkan alat untuk mengukur percakapan publik secara online untuk mengukur atribut seperti perhatian bersama, variasi pendapat, dan penerimaan informasi.
Ia berharap dengan alat itu bisa meningkatkan kemampuan mengukur atribut seperti itu dan akan menghasilkan pengambilan keputusan lebih baik melawan kesalahan informasi.