Namun, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI menilainya lain. Majelis mencabut izin sementara keanggotaan Terawan sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesiaselama 12 bulan, terhitung sejak 26 Februari 2018.
Moh. Hasan Machfoed, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, termasuk salah seorang praktisi dan pakar neurologi yang mengkritik sejak awal terapi Terawan. Machfoed menjadi saksi ahli dalam pemeriksaan etik oleh Pengurus Besar IDI soal metode pengobatan Terawan.
Sederhananya, alat diagnosis lewat Digital Subtraction Angiography (DSA) dipakai Terawan sebagai alat pengobatan—yang oleh Terawan disebutnya “modifikasi”. Namun, apa yang disebut terapi memodifikasi DSA dan cuci otak itu belum purna melewati uji klinis yang memadai.
Dengan kata lain, ujar Machfoed, klaim terapi Terawan tak punya basis ilmiah yang kuat. Terawan juga langsung menerapkannya ke para pasien tanpa diuji lebih dulu oleh majelis kolegium—diuji ke sidang kolega pakar dan praktisi dari disiplin ilmu terkait.
Mawa Kresna mewawancarai Moh. Hasan Machfoed, profesor neurologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, untuk menjelaskan apa saja kekeliruan dokter Terawan, dan mengapa Machfoed bahkan berkata “orang dibohongi” oleh sang dokter. Berikut petikan wawancaranya (dengan penyuntingan minor agar nyaman dibaca).
Anda menjadi salah satu saksi ahli dalam sidang etik dokter Terawan, apa yang Anda jelaskan?
Tidak bisa [di sini] dong. Itu rahasia jabatan.
Sebagai pakar saraf, bagaimana Anda menilai pengobatan ‘brainwash’ yang dilakukan dokter Terawan?
Kalau misalnya Anda sakit batuk dua bulan, Anda pasti sakit paru-paru. Oleh spesialis paru-paru, Anda dirontgen. Anda divonis menderita TBC (tuberkulosis). Terbukti rontgen itu alat diagnosis, kan? Tapi, kemudian, rontgen itu dibilang bisa menyembuhkan Anda.
Nah, sama dengan itu. Digital Subtraction Angiography itu alat untuk mengetahui kelainan pembuluh darah. Jadi, itu hanya diagnosis. Kemudian, supaya kelihatan arteri di otak, dikasih juga heparin. Heparin itu maksudnya supaya nanti mencegah terjadinya suatu gumpalan darah.
Sama seperti Anda diambil darahnya sewaktu kecil. Jadi heparin itu untuk mencegah, mencegah, dan mencegah pembekuan darah.
Misal, sudah terjadi pembekuan darah pada stroke, yang membeku pada otak, tidak bisa menggunakan heparin. Itu namanya rt-PA (recombinant tissue plasminogen activator)—atau Alteplase alias obat yang bisa membantu memecah gumpalan darah yang tak diinginkan.
Jadi, misalnya begini, kalau baju Anda kena lumpur, cukup dibasuh dengan air, kan? Air itu heparin. Tapi, baju Anda kena cat, apakah bisa pakai air? Kan, enggak bisa. Itu harus dicuci dengan minyak tanah. Nah, mencucinya itu istilahnya rt-PA. Sedangkan alat DSA itu sudah ditemukan beberapa puluh tahun lalu oleh sarjana di Spanyol.
[Catatan: tes angiografi dengan teknik subtraksi digital dikembangkan pada 1970-an, dan menjadi salah satu sejarah penting dalam bidang radiologi. Teknik yang dikenal juga dengan sebutan arteriografi ini adalah teknik pencitraan untuk melihat lumen atau bagian dalam organ dan pembuluh darah guna memeriksa kondisi jantung, pembuluh arteri, dan vena.]Dokter Terawan mengklaimnya sudah “dimodifikasi”?
Apa yang sudah dimodifikasi? Apanya? Yang dimodifikasi dia tetap memberikan heparin. Yang disebut modifikasi itu mungkin kontrasnya dikecilkan, dosisnya dikecilkan, tetapi tetap saja subtansinya dikasih kontras dengan heparin.
Yang namanya modifikasi itu tidak ada manfaatnya. DSA itu sebagai alat diagnosis, namun oleh Dokter Terawan dijual sebagai mengobati stroke. Bahkan yang lebih celakanya lagi, orang menganggap bisa terhindar dari stroke. Rupanya orang dibohongi.
Padahal, kalau orang ingin terhindar dari stroke, bukan dicuci otak begitu. Misalnya, Anda tidak boleh merokok, Anda tidak boleh gemuk, olahraga teratur. Bukan dengan terapi cuci otak. Itu kesalahan besar sekali.
Tahun 2013, Anda pernah memberikan keterangan pers, salah satunya dengan menyatakan ada sejawat dokter yang melakukan terapi itu dan menyebabkan si pasien meninggal?
Itu terjadi di Surabaya. Pasien stroke ditangani dengan terapi brainwash oleh seorang radiolog di Surabaya.
Itu terjadi kapan?
Saya lupa waktunya. Pasien itu meninggal dan belum diketahui, apakah ada hubungannya dengan cuci otak atau tidak. Kemudian dipanggil dokternya.
“Kamu kok melakukan terapi brainwash?”
Ternyata dokter yang menangani itu tidak bisa mempertanggungjawabkan secara ilmiah. Dokter radiologi itu bilang, “Ini dokter Terawan, kan, melakukan.”
“Mana dasar ilmiahnya?”
DSA untuk terapi stroke di Surabaya itu akhirnya tidak boleh, dan dilarang keras oleh direktur rumah sakit.
Waktu itu dokter yang melakukan dikenakan sanksi?
Tidak ada sanksi. Hanya peringatan keras. Karena memang belum bisa dibuktikan secara ilmiah—artinya, boleh dilakukan atau tidak. Itu masalahnya.
Secara prosedur, bagaimana cara pengobatan baru sebetulnya bisa diterapkan kepada pasien?
Dokter Terawan tidak melewati Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia. Itu trial anderror.
Karena belum bisa dibuktikan secara ilmiah, apakah bisa dibilang terapi dokter Terawan kepada para pasien semacam menjadikan mereka ‘kelinci percobaan’?
Saya tidak bisa bilang begitu. Itu adalah prosedur dan DSA itu biasa. Dan di rumah sakit, banyak orang melakukan DSA untuk diperiksa. Sama seperti rontgen. Itu banyak setiap hari. Tapi, masalahnya, metode DSA itu disebut dokter Terawan sebagai terapi cuci otak.
Orang yang kena stroke itu, kemungkinannya seperti ini: sepertiga bisa sembuh, sepertiga mati, sepertiga gejala (seperti tidak bisa jalan, dan lain sebagainya.
Nah, banyak orang kena stroke yang frustrasi. Mereka dengar ada cuci otak. Ini semacam jadi harapan. Bagaimana bisa sembuh?
Mungkin Anda pernah mendengar parasetamol—obat untuk melegakan sakit kepala dan sakit ringan. Parasetamol itu untuk menurunkan panas. Kalau misalnya Anda kena darah tinggi, kemudian diberikan parasetamol, apakah sembuh? Kan, tidak mungkin. Nah, maksud saya seperti itu (tidak koheren antara DSA sebagai alat diagnosis menjadi metode penyembuhan).
Mengenai temuan ilmiah, bagaimana prosedurnya dan bukankah harus diterbitkan lewat jurnal?
Itu sudah dilakukan dan Dokter Terawan melakukan disertasi di Fakultas Kedokteran di Makassar (Universitas Hasanuddin), dan salah satu hasil penelitiannya dipublikasikan di Bali Medical Journal. Artinya, yang dipublikasikan di situ sama seperti penelitian (disertasi) yang dilakukan oleh Terawan.
Kemudian, setelah dievaluasi, hasilnya tidak tepat semua. Hasilnya, tidak ada satu pun yang dicantumkan Terawan yang mendukung hasil penelitian itu. Jadi, hasilnya tidak valid. Mana buktinya? Itu tidak ada sama sekali.
Padahal penelitian soal heparin itu ada ribuan. Dari ribuan itu tidak ada satu pun yang menguatkan penelitian Terawan. Sama seperti, misalnya, Anda bilang bahwa parasetamol bisa menurunkan darah; dicari sampai ribuan pun tidak akan ditemukan. Artinya apa? Itu tidak sesuai dengan kaidah ilmiah.
Apakah ada perbedaan antara kajian yang ditulis dokter Terawan dan praktik dia di RSPAD Gatot Soebroto?
Yang dipraktikkan itu yang ditulis sama dia dan dijadikan disertasi. Sama saja. Tidak ada perbedaan.