JAKARTA – Dikutip dari tribunnews.com, peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Sukamdi mengkritisi klaim hasil studi yang dilakukan sebuah lembaga riset dan konsultan bisnis seputar industri ride-hailing.
Dalam studinya, lembaga itu mengaku telah mensurvei 40 responden mitra ojek online di empat kota besar di Indonesia. Kemudian kesimpulan dari hasil studi yang disebut ‘survei kualitatif’ itu dalam bentuk prosentase.
Padahal, Sukamdi menekankan, metodologi penelitian kualitatif tidak bisa menyimpulkan sesuatu yang bersifat generalisir.
Termasuk juga tidak bisa pula menghasilkan kesimpulan dalam bentuk presentase yang mewakili sebuah populasi.
”Kalau penelitian kualitatif itu spesifik, fokus, mendalam, dan detail. Jadi salah kaprah kalau ada pihak menyebut penelitian pakai survei kualitatif karena penelitian kuantitatif itu rujukannya survei,” terangnya saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Dalam penelitian kuantitatif, Sukamdi menggambarkan seperti melihat sebuah bidang yang luas di permukaan atau horisontal. Berbeda dengan penelitian kualitatif yang sifatnya vertikal dan mendalam.
”Penelitian kuantitatif itu bisa diibaratkan memfoto permukaan bumi dari udara. Di situ yang terlihat hanya permukaan saja. Berbeda dengan kualitatif,” urainya.
Alhasil, Sukamdi mengkhawatirkan kesimpulan dari sebuah penelitian yang mengabai
”Ada moral hazard di situ. Ada banyak riset yang pesanan di mana sebelum riset sudah ada hasilnya. Sahih atau tidaknya riset itu ada pada metodologinya. Ada cara ukur dan ambil sampel yang layak,” tegas dosen yang mengampu mata kuliah metodologi penelitian ini.
Maka itu, Sukamdi menekankan perlunya keterbukaan metodologi penelitian ketika lembaga riset memaparkan hasil studi.
”Kalau lembaga riset abal-abal pasti untuk melayani pihak tertentu. Hasil riset itu untuk justifikasi saja,” katanya.
Terlebih lagi, Sukamdi menilai lembaga riset abal-abal dapat berdampak buruk ke publik. Di samping itu, tentu saja lembaga riset yang selama ini mempertahankan integritasnya.
”Kalau mau ukur integritasnya, lihat saja siapa orang-orang di lembaga riset tersebut. Dari situ bisa kelihatan,” tukasnya.
Sebelumnya, Spire Research and Consulting mempublikasikan ‘survei kualitatif’ terhadap 40 pengemudi dan 280 konsumen atau pengguna yang dipilih secara acak dalam skala nasional.
Berdasarkan hasil survei yang disebut “Consumers’Awareness” menyimpulkan sekitar 75% dan 61% responden mengaku Grab merupakan merek (brand) yang mereka gunakan dalam 6 dan 3 bulan terakhir.
Sementara itu, 62% dan 58% responden memilih menggunakan Go-Jek untuk kategori yang sama dalam 6 dan 3 bulan terakhir. (tribunnews.com)