Bogor – Peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta,Rudy Harisyah Alam mengungkapkan beberapa kasus intoleran yang terjadi di wilayah Jawa Barat tidak menjadikan seluruh Jawa Barat sebagai daerah intoleran.
“Mungkin ia terjadi konflik di Jawa Barat, tapi tidak di seluruh Jawa Barat. Jadi, tidak bisa diambil kesimpulan Jawa Barat intoleran, karena ada beberapa kasus. Buktinya ada beberapa daerah, kantong-kantong di Jabar yang tetap rukun,” kata Rudy di Bogor, Selasa.
Rudy memaparkan hasil studi yang dilakukannya bersama tim peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta berjudul “Studi Peningkatan Kualitas Kerukunan Umat Beragama : Toleran antar Umat Beragama para Masyarakat Heterogen di Jawa Barat”.
Menurutnya, studi yang dilakukan bersama tim mencoba untuk memberikan gambaran positif, apabila selama ini hasil studi yang dilakukan lembaga advokasi yang merujuk wilayah Jabar sebagai daerah intoleran, tidak rukun.
“Nah kami mau membuktikan itu. Buktinya ada daerah-daerah yang tetap rukun. Walaupun mungkin tidak bicara mayoritas dan minoritas,” katanya.
Ia mengatakan jika ada satu peristiwa menyebabkan warga di daerah tersebut tidak rukun, bisa ditanyakan sepanjang sejarah hidup dari masyarakat tersebut berapa kali peristiwa berkonflik terjadi.
“Seharusnya bisa dihitung juga seberapa banyak warga bisa bekerja sama, rukun, dibandingkan ketika mereka meributkan atau ribut karena persoalan tertentu. Itu jauh lebih banyak sejarah damainya ketimbang berkonflik. Jadi lazimnya, konflik menjadi sesuatu tidak normalnya,” katanya.
Ia menjelaskan studi melibatkan enam peneliti dilakukan di enam wilayah di Jawa Barat yakni Kampung Panggulan, Kelurahan Pengasinan, Kota Depok. Desa Kertajaya, Kecamatan Pabayuran, Kabupaten Bekasi. Kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Desa Pabuaran, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. Kelurahan Karang Mekar, Kecamatan Cimahi Tengah, Kabupaten Cimahi, Dan, Kampung Sawah, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi.
Dari hasil studi tersebut diperoleh data bahwa keenam daerah tersebut dapat menjaga kerukunan umat bergama secara alami, tetapi beragam. Sebagai contoh di Kecamatan Pabayuran, dan Pabuaran dikarenakan oleh ikatan kekerabatan yang kuat.
“Selain ikatan kekerabatan, juga ada ikatan dari warga pendatang, karena kondisi sudah rukun, jadi pendatang sudah menyesuaikan diri dengan situasi di Pabuaran,” katanya.
Rudy mengatakan di daerah yang diteliti tidak ada warga yang ribut karena persoalan agama. Kalaupun ada keributan antar kekerabatan terjadi karena urusan lain, kemungkinan urusan ekonomi.
Menurutnya modal sosial atau ikatan antar warga menjadi faktor penting dalam memeliharan kedamaian antar suku maupun antar warga di beberapa wilayah sadar kerukunan tersebut.
Hasil penelitian ini juga membuktikan kerukunan yang terbentuk di daerah tersebut asli tanpa ada pabrikasi atau pelabelan dari lembaga tertentu maupun pemerintah. Tetapi kerukunan yang terjalin di era digitalisasi saat ini sangat rentan, sehingga perlu dipelihara.
“Penelitian lanjutan dari kajian ini adalah membuat model percontohan agar bisa direplikasi di daerah lain. Dan mendorong inisiatif warga untuk bisa menjaga kerukunan entah itu dengan paguyuban atau yang lainnya,” kata Rudy. (IFR/Inilahkoran.com)