News

Peneliti Temukan Tiga Sel Saraf Baru dalam Telinga Manusia

Telinga merupakan salah satu dari pancaindra manusia yang penting. Fungsinya adalah menangkap gelombang suara. Cara kerja telinga menangkap bunyi atau suara hingga sampai ke otak guna menafsirkannya, diketahui cukup rumit, seperti halnya cara kerja organ-organ manusia lainnya.

Selama ini para ilmuwan berasumsi bahwa saraf yang membawa informasi dari telinga luar hingga ke dalam otak terdiri dari dua jenis. Saraf-saraf itu disebut saraf Tipe I dan saraf Tipe II.

Baru-baru ini, para ilmuwan kembali menganalisa asam ribonukleat (ARN) atau ribonucleic acid (RNA) dari masing-masing tipe saraf pada hewan tikus yang mewakili mamalia. Hasilnya, salah satu jenis saraf ternyata tidak seperti yang diketahui sebelumnya.

1. Alur pendengaran manusia

Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature (12/9) itu mengungkapkan, ternyata saraf Tipe I itu sebenarnya mewakili tiga jenis saraf berbeda yang seluruhnya benar-benar baru diketahui oleh sains.

Namun sebelum kita menuju ke sana, mari kita ketahui terlebih dahulu bagaimana cara kerja pendengaran kita.

Dalam pelajaran sekolah, kita telah diajarkan bagaimana alur pendengaran manusia bekerja. Mula-mula dari gelombang suara yang ditangkap oleh daun telinga hingga menggetarkan membran di dalamnya (gendang telinga).

Kemudian, membran yang bergetar itu sendiri menggetarkan tiga tulang kecil (Malleus, incus dan stapes) yang terhubung dengan terowongan sipral yang disebut koklea (Cochlea).

2. Gelombang suara juga direspon oleh bulu-bulu kecil

Selain itu, gelombang suara juga direspon oleh bulu-bulu kecil di dalam telinga (stereocilia) layaknya rumput beriak yang diterpa angin. Respon bulu-bulu itu kemudan menghasilkan distorsi seluler yang diubah menjadi sel-sel kimia oleh saraf. Sel-sel saraf itu pada umumnya disebut dengan spiral ganglion neurons.

Walau para ilmuwan telah memahami hal tersebut, mereka berniat untuk lebih memahaminya hingga ke tingkat molekuler bagaimana gelombang di udara bisa menjadi kicau burung, hentakan drum, tangisan bayi dan lain sebagainya.

3. Perbedaan saraf Tipe I dan saraf Tipe II

Nah, 88 persen dari spiral ganglion neurons itu disebut dengan saraf Tipe I yang memiliki ciri selubung myelin yang mengirim sinyal dalam satu arah. Sementara 12 persen sisanya adalah Tipe II, yaitu saraf tanpa selubung myelin yang mengirim sinyal dalam dua arah.

Saat menganalisa asam ribonukleat dari hewan tikus, para ilmuwan mencatat aktivitas genetik yang pada gilirannya dapat digunakan untuk menggambarkan bagaimana respon biokimia yang muncul. Dan ternyata, para ilmuwan menemukan bahwa saraf Tipe I tersebut tidak hanya terdiri dari satu tipe saja.

“Kami sekarang akhirnya mengetahui bahwa ada tiga rute yang berbeda di dalam sistem pendengaran pusat, tidak hanya satu,” cetus ketua kelompok studi, Francois Lallemend, seperti yang dikutip Science Alert (14/9).

Empat saraf baru temuan Francois Lallemend dkk itu akhirnya dinamai saraf Tipe Ia, Ib, Ic dan saraf Tipe II.

4. Empat tipe saraf telinga dengan peran yang berbeda

Menurut Lallemend, tiga sub tipe pada saraf Tipe I itu memiliki peran berbeda . Tiga sub (Ia, Ib, Ic) itu masing-masing bertanggungjawab untuk menyesuaikan ambang batas kebisingan. Hal itu dilakukan guna membantu manusia untuk menyetel intensitas gelombang suara di berbagai lingkungan.

Sementara saraf Tipe II bertanggungjawab untuk merespon tekanan di dalam telinga. Karena saraf Tipe II mengirim sinyal secara dua arah, sel-sel di dalamnya bisa memicu respon perlindungan dari suara bising yang keras.

5. Manfaatnya bagi dunia kesehatan khususnya telinga

Mengidentifikasi serangkaian perbedaan fungsi sel-sel saraf dalam telinga itu oleh para ahli dinilai bisa membantu untuk mengembangkan solusi terhadap gangguan telinga.

Misalnya seperti tinnitus (berdenging) yang bisa menunjukkan adanya gangguan kesehatan dan hyperacusis yang sensitif atau terlampau peka terhadap suara keras seperti bunyi petasan, raungan sirine, bel klakson dan lain sebagainya.

“Ketika kita mengetahui neuron mana yang bertanggungjawab atas hyperacusis, kita bisa mulai mengembangkan terapi baru guna mengatasinya,” kata Lallemend, dilansir dari Tech Explorist.

“Selain itu, temuan ini bisa juga untuk membantu mengembangkan alat bantu dengar yang lebih mutakhir layaknya implan koklea.” (IFR/IDNTimes.com)

Join The Discussion