CHICAGO – Horned larks merupakan burung penyanyi kecil yang memiliki perut berwarna putih dan memiliki dagu berwarna putih. Namun, 100 tahun yang lalu ketika AS pada puncak polusi asap, bulu Horned larks berubah menjadi pucat atau abu-abu gelap karena jelaga di atmosfer.
Dilansir dari Dailymail, sebuah studi baru telah menunjukkan bahwa bulu dari burung Horned larks dapat digunakan untuk melacak jumlah karbon hitam di udara dari waktu ke waktu. Para peneliti menemukan bahwa udara pada awal 1900-an bahkan lebih tercemar daripada yang diperkirakan.
“Perubahan pada bulu burung ini memungkinkan kami untuk melacak jumlah karbon hitam di udara dari waktu ke waktu, dan kami menemukan bahwa udara pada pergantian abad bahkan lebih tercemar daripada yang dipikirkan ilmuwan sebelumnya,” ungkap Shane DuBay, seorang mahasiswa pascasarjana di The Field Museum dan University of Chicago dan salah satu penulis studi tersebut.
Ia dan rekan penulis Carl Fuldner, menganalisis lebih dari seribu burung yang dikumpulkan selama 135 tahun terakhir untuk menentukan dan mengukur efek jelaga di udara di atas kota-kota di Rust Belt, sebuah daerah dari Great Lakes ke negara bagian Midwestern bagian atas, termasuk negara bagian seperti Pennsylvania, West Virginia, Ohio, dan Indiana. Ahli Ornitologi di The Field Museum telah lama mengetahui bahwa spesimen burung dalam koleksi dari awal 1900-an tampak lebih gelap dari yang diperkirakan.
Peneliti mengatakan, burung-burung tersebut bertindak sebagai filter udara yang bergerak di sekitar lingkungan di mana mereka tinggal. Untuk mengukur perubahan dalam ‘sootiness’ selama bertahun-tahun, para peneliti menggunakan metode baru, yaitu memotret burung dan mengukur cahaya yang tercermin dari burung.
Burung-burung yang di foto berjumlah lebih dari seribu dan semuanya berasal dari 5 spesies yang berkembangbiak di Rust Belt serta memiliki banyak bulu putih pada tubuhnya. Foto-foto para peneliti menunjukkan kontras yang mencolok antara burung abu-abu yang terkena jelaga dan yang masih berwarna putih.
Carl Fuldner, seorang sejarawan foto yang berfokus pada citra lingkungan, bekerja dengan DuBay untuk mengembangkan sebuah metode untuk menganalisis foto-fotonya. Mereka merencanakan jumlah cahaya yang memantul dari bulu burung sesuai dengan tahun burung-burung dikumpulkan.
“Perubahan pada burung mencerminkan usaha, pertama di tingkat kota namun akhirnya berkembang menjadi gerakan nasional untuk mengatasi masalah asap,” ungkap Fuldner.
Jelaga pada burung-burung tersebut sekira Perang Dunia II, ketika manufaktur masa perang menghasilkan penggunaan batubara, dan segera turun setelah perang, ketika orang-orang di Rust Belt mulai memanaskan rumah mereka dengan gas alam yang disalurkan dari Barat dan bukan dengan batu bara.
Menganalisis karbon hitam di atmosfer dapat membantu ilmuwan mempelajari perubahan iklim. “Kami tahu karbon hitam adalah agen perubahan iklim yang hebat, dan pada pergantian abad, tingkat karbon hitam lebih buruk dari perkiraan sebelumnya,” tambah DuBay. (IFR/Okezone.com)