Dokter Satria Arief Prabowo pantas berbangga. Di usia yang masih 24 tahun, dia telah berkeliling ke 35 negara di dunia. Bahkan, dokter lulusan Universitas Airlangga itu menjadi anggota termuda dalam penelitian vaksin tuberkulosis (TB) dengan 20 negara.
ANTIN IRSANTI
ORANG yang hebat tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan. Dibutuhkan usaha, kerja keras, tekad yang kuat, dan pengorbanan yang tidak sedikit untuk menggapainya. Begitu pula capaian yang diraih dr Satria Arief Prabowo.
Lulus SMA pada usia yang masih sangat belia, yakni sekitar 15–16 tahun. Kemudian, Satria melanjutkan pendidikan sarjana di Jurusan Kedokteran Universitas Airlangga. Tak banyak yang menyadari, pria kelahiran Surabaya 13 Oktober 1992 itu sebenarnya sedang berjuang keras. ”Di saat teman-teman lain menikmati masa muda, saya sudah menempuh kuliah. Sehingga butuh waktu untuk adaptasi,” tutur putra pasangan Siswanto dan Siti Nur Elly Yani itu.
Godaan sebagai anak muda pun kerap kali muncul. Namun, semangat Satria tidak mudah goyah. Ada hal lain yang lebih besar untuk dia kerjakan. Dia yakin, segala jerih payah baik akan menghasilkan sesuatu yang baik juga.
Orang tua adalah sumber semangat utama bagi sulung di antara tiga bersaudara tersebut. Sebagai anak, dia ingin terus berbakti kepada orang tua dan memberikan senyum di wajah mereka. ”Sejak dini di benak saya selalu tertanam supaya dalam hidup ini dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat,” ujar pengagum Nabi Muhammad SAW itu.
Tak hanya itu, Satria juga memiliki passion yang tinggi di bidang riset penyakit tropis dan infeksi. Karena itu, dia aktif di forum ilmiah dan studi mahasiswa yang bergerak di bidang penalaran. Selain itu, dia aktif sebagai student ambassador mewakili Indonesia untuk International Student Congress on Medical Sciences di Belanda.
Pada 2012, Satria mendapatkan beasiswa dari University of Groningen, Belanda, untuk program Clinical and Research Internship. Dia terpilih oleh Unair karena merupakan mahasiswa berprestasi dan lulusan terbaik di fakultas kedokteran.
Selama enam bulan di Groningen, pria yang menjadi dokter sejak usia 21 tahun itu terlibat dalam konsorsium riset vaksin TB di Eropa. Dia juga berhasil memublikasikan dua karya jurnal internasional. Berbekal jurnal internasional dan rekomendasi dari internist-infectiologist di Belanda Prof Tjip S. Van Der Erf MD PhD, Satria mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi PhD di London School of Hygiene and Tropical Medicine tanpa gelar master.
Riset vaksin TB pun berlanjut. Bahkan, Satria berkolaborasi dengan peneliti dari 20 negara di dunia. Riset tersebut mendapatkan dana EUR 25 juta atau setara Rp 400 miliar. Dalam penelitian itu, dia merupakan peneliti sekaligus kandidat doktor termuda.
Alumnus SMAN 5 Surabaya itu lantas menjelaskan penelitian yang sedang dikerjakannya. Secara umum, masalah TB di Indonesia hampir sama dengan negara-negara berkembang lainnya. Yakni, perlu vaksin baru yang lebih efektif dan terapi yang lebih singkat.
Sementara itu, pengobatan TB dianggap belum efektif. Lebih parah lagi, dalam kasus TB tersebut diketahui ada multi-drug resistant tuberculosis (MDR-TB) atau kekebalan terhadap pengobatan. Akibatnya, keberhasilan terapi hanya mencapai kisaran 50 persen dan jangka waktu pengobatan hingga 20 bulan. Jenis TB itu dilaporkan semakin sulit untuk diobati.
Tidak hanya itu, vaksin BCG yang diberikan kepada anak-anak saat ini hanya efektif mencegah TB jenis tertentu. Yakni, TB milier dan meningitis selama dua tahun pertama pada anak. Untuk mencegah TB paru pada orang dewasa, efektivitas BCG hanya 0–50 persen.
Karena itu, penelitian doktoral tersebut bertujuan untuk menjawab dua permasalahan itu. Melalui konsorsium riset yang didanai oleh Grant dari Uni Eropa, proyek tersebut bertujuan untuk mengembangkan sebuah vaksinasi terapeutik bagi penderita TB.
Umumnya, vaksinasi diberikan untuk mencegah penyakit. Tapi, ternyata bisa juga diberikan kepada penderita yang sudah sakit untuk membangkitkan sistem kekebalan tubuh dan potensial memperpendek masa pengobatan penderita TB. ”Jika terapi dapat diperpendek dari enam bulan menjadi satu bulan misalnya, hal itu akan berdampak besar. Angka penyakit TB bisa berkurang secara signifikan di dunia,” terangnya.
Satria menjelaskan, vaksin yang sedang dikembangkannya menggunakan strategi khusus. Yakni, dengan mengembangkan latency antigen sehingga dapat mengeradikasi (memusnahkan) kuman TB dorman (semacam tertidur atau pasif) yang menjadi masalah. Karena itu, vaksin tersebut tidak hanya upaya pencegahan, tetapi juga terapi bagi pasien TB.
Proses penelitian dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap awal, kandidat vaksin diberikan ke hewan coba. Pada penelitian tersebut, mereka melihat respons imun yang dihasilkan melalui vaksinasi sekaligus memastikan keamanan sebelum diberikan kepada manusia.
Pada tahap kedua, vaksin diberikan kepada manusia. Dalam hal ini adalah penderita MDR-TB yang sedang dalam pengobatan. Tujuannya melihat efek vaksinasi dalam meningkatkan kesembuhan dan mencegah penyakit kambuh.
Untuk strategi vaksinasi terapeutik, lanjut Satria, diperlukan waktu 1,5–2 tahun di hewan coba. Untuk pengembangan formula yang sesuai, tim juga bekerja sama dengan ahli kimia dan farmasi. Formula tersebut dikonfirmasi lebih lanjut melalui pengujian di hewan coba dalam beberapa dosis. Dosis yang optimal selanjutnya diujikan kepada manusia.
Pengujian terhadap manusia dilakukan dalam beberapa fase. Yakni, fase I pada orang sehat untuk mengetahui keamanan vaksin. Fase II pada penderita TB, baik dewasa maupun anak-anak. Pengujian pada fase II dikerjakan di Rumania dan hasilnya memuaskan. ”Selanjutnya, akan diujicobakan di negara-negara endemis TB seperti Afrika dan harapannya juga Indonesia,” harapnya.
Pada usia yang baru menginjak 24 tahun, Satria telah berkeliling ke 35 negara di dunia. Sebanyak 26 negara di antaranya merupakan negara Eropa dan Afrika yang berkaitan dengan riset. Mengunjungi banyak negara membuka matanya. Tentang keberagaman sistem nilai, sosial, maupun budaya yang turut berpengaruh dalam perkembangan pelayanan kesehatan dan kemajuan riset suatu negara.
”Jumlah penderita TB di Eropa Timur cukup tinggi dibandingkan Eropa Barat. Sedangkan, birokrasi berbelit masih ditemukan di Eropa Timur. Kami harus benar-benar bisa merangkul semua pihak setempat untuk mendorong supaya penelitian ini dapat berjalan dengan baik,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, berkolaborasi dengan peneliti yang rata-rata berusia jauh di atasnya juga menjadi tantangan tersendiri bagi Satria. Untuk itu, diperlukan strategi untuk dapat berkomunikasi dengan baik kepada para kolega dan senior.
Namun, satu hal yang dia apresiasi dari penelitian tersebut adalah semua dinilai berdasar kualitas. Usia bukan penghambat kalau dia dinilai mampu melakukannya.
Salah satu pengalaman menarik terjadi ketika Satria melakukan presentasi di kongres internasional, yakni International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) di Liverpool pada Oktober 2016. Pada sesi presentasi, dia mendapat giliran tepat setelah Associate Professor dari Harvard yang sudah cukup senior. ”Terus terang, saya sempat grogi,” kenang pria yang hobi membaca itu.
Namun, Satria tidak berkecil hati. Dia tetap berusaha menyelesaikan presentasi dengan maksimal. Hasilnya, dia mendapatkan tanggapan dan masukan yang positif dari para pakar setelah presentasi.
Setelah lulus PhD nanti, dia berencana melanjutkan pendidikan spesialis anak dan menyelesaikan penelitiannya. ”Di mana pun tempat saya mengabdi nanti, harapan saya kandidat vaksin yang sedang kami kembangkan ini bisa bermanfaat langsung untuk Indonesia,” harapnya.
Satria menegaskan, jangan lelah berkarya dan selalu berusaha memberikan yang terbaik. ”Man jadda wa jadda,” tandasnya. (IFR/Jawap Pos)