JAKARTA – Tidak hanya dituntut untuk menulis hasil penelitiannya melalui jurnal ilmiah. peneliti Indonesia sebaiknya juga wajib menulis buku sebagai output dari pekerjaannya. Hal itu disampaikan oleh Rahmi Lestari Helmi, Kepala LIPI Press dalam acara “Peluncuran Buku Penelitian dan Pengarusutamaan Gender: Sebuah Pengantar” karya Dr. Widjajanti M Santoso, Rabu (16/11) di PDII-LIPI Gatot Subroto.
Hadir sebagai undangan Kepala Sub Bagian Perpustakaan, Informasi dan Dokumentasi, BPP Kemendagri Moh. Ilham. A. Hamudy juga sepakat mendengarkan hal tersebut. Apalagi saat Rahmi mengatakan, peneliti Indonesia sebaiknya tidak perlu lagi pesimis akan angka kredit yang rendah dan tidak mendapatkan insentif berupa royalty.
“Sebenarnya mulai tahun ini kita pergunakan dana PNBP (Pengeluaran Negara Bukan Pajak) yang bisa mengatur kesejahteraan peneliti sejalan dengan karyanya berupa buku. Peneliti yang menulis buku dapat bekerjasama dengan penerbit lalu mendapatkan insentif dari anggaran tersebut. Ya meskipun bukan royalty yang didapat, tapi nilainya sama dengan royalty. Kalau dulu kan peneliti yang menulis buku hasil royaltynya dikembalikan ke kas negara, sekarang sudah tidak lagi, peneliti bisa merasakan dana insentif kisaran 3-4 juta,” teranngya.
Acara peluncuran buku milik salah satu peneliti hebat di LIPI itu juga menjadi pemicu semangat para peneliti lainnya di Indonesia agar terus berproduktif tidak hanya melalui jurnal atau media massa, tetapi juga melalui buku. “Yang namanya jurnal itu penting bagi peneliti, tapi diplomasi politik dari buku jauh lebih kuat. Bukan hanya sembarang membuat buku, peneliti harus membuat buku yang berkualitas dan mempunyai nilai yang bagus agar bisa menjadi kekuatan untuk memperjuangkan cita-cita dalam buku yang ditulis,” tutupnya. (IFR)