JAKARTA – Kebijakan terkait sektor pangan seperti Peraturan Menteri Pertanian No. 16/2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura jangan rawan diskriminasi sehingga dapat mempersulit importir kecil di Tanah Air.
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi, Minggu (18/3/2018), mengatakan, dalam Permentan nomor 16 tahun 2017 tentang RIPH disebutkan bahwa para importir wajib menanam bawang putih sendiri dengan minimal produksi 5 persen dari jumlah yang diimpor dan produktivitas rata-rata 6 ton per hektare.
Dengan demikian, lanjutnya, importir kecil yang hanya mau impor 100 ton harus menyiapkan tanah minimal seluas 8.300 meter persegi untuk menghasilkan minimal 5 ton bawang putih hasil produksinya sendiri.
“Tentu saja regulasi seperti ini sulit dipenuhi oleh importir skala kecil. Yang bisa memenuhi siapa? Hanya perusahaan-perusahaan besar saja yang bisa,” kata Hizkia Respatiadi.
Akibatnya, menurut dia, hanya perusahaan besar saja yang memperoleh linsensi impor sehingga kebijakan itu juga rawan disalahgunakan sebagai bentuk baru monopoli.
Ia mengingatkan bahwa tidak semua importir memiliki lahan seluas itu dan tidak semua kelompok tani memiliki lahannya sendiri.
“Regulasi yang membatasi jumlah pelaku usaha akan selalu berisiko menimbulkan praktik-praktik ilegal, seperti praktik penyelundupan dan praktik suap,” ungkapnya.
Hizkia juga mengingatkan bahwa penyelundupan terjadi karena permintaannya tinggi sehingga walau kuota impornya terbatas, tetapi perusahaan tersebut tidak mau kehilangan kesempatan.
Kebijakan ini juga dikhawatirkan dapat memengaruhi harga di tingkat konsumen.(WARTAEKONOMI.CO.ID)